Kamis, 20 Desember 2012

TIMIPOTU NEWS: PULUHAN MAHASISWA PAPUA DATANGI MABES POLRI TERKAI...

NAPAS-Timipotu News, Puluhan Mahasiswa Papua dan Pro-demokrasi yang tergabung dalam Solidaritas Aksi Kemanusiaan untuk Papua, mendatangi Mabes Polri,Jakarta Selatan, 18 Desember 2012, kemarin, atas peristiwa Penembakan, Penangkapan, Pembakaran serta Pengungsian yang terjadi di Kapupaten Wamena, Khususnya di Kampung Holima, Dstrik Hubi Kosi dan di Kampung Milima, Distrik Kurulu.
Menurut Juru Bicara Aksi, Melky Haluk, Peristiwa Penembakan menewaskan 1 Aktivis Papua dari KNPB, Hubertus Mabel (32) dan 1 Masyarakat Sipil/Petani, Tanalis Alua (34). Peristiwa ini terjadi di Kampun Malima Distrik Kurulu. Melki juga membanta pernyataan Mabes Polri terkait ada upaya perlawanan sehingga HM dilumpuhkan, sesungguhnya tidak ada perlawanan dan aparat memang dengan sadar dan sengaja melakukan penembakan mati Aktivis Papua. Sementara Aparat juga menangkap 6 orang aktivis Papua, yakni Simon Daby (Ketua KNPB), Meki Jikwa (anggota KNPB), Johm Huby (Anggota KNPB), Pie Huby (Anggota KNPB), Herae Huby (Anggota KNPB), Ima Mabel (Anggota KNPB), yang sesungguhnya mereka hanya aktivis yang menyuarakan nasip rakyat Papua yang ditindas oleh resim NKRI. 
Mereka adalah aktivis kemanusiaan yang selalu menyuarakan kebenaran dan keadilan untuk rakyat Papua. Ko mereka bisa ditahan tanpa alasan hukum yang jelas dan hanya bermodalkan lebel distigma separatis, tandas Melky. Melky juga heran karena Kantor Dewan adat juga dibakar oleh Aparat. Menurut Melky ini menunjukan Hak hidup rakyat terancam. Sementara masyarakat dari Dua kampung tersebut mengungsi ke tempat yang jauh dari kehidupan mereka. Dan ini berbahaya atas kelangsung hidup mereka di tempat pengungsian. Terkait kedatangan mereka ke Mabis Polri, Jurus bicara Aksi menegaskan bahwa mereka bukan meminta pertanggungjawaban dari Mabes Polri, karena polisi pelaku kejahatan kemanusiaan di Papua. Mereka hanya datang untuk mengatakan bahwa mereka akan tetap berjuang untuk keselamatan rakyat mereka sampai titik darah pengabisan. Sementara Koordinator Lapangan, Agus K menegaskan, kami tidak percaya Lagi dengan Mabes Polri, Kami tidak percaya lagi dengan Republik Indonesia. 
Kami orang yang sisah-sisah ini, sudah disisah-sisahkan oleh Republik Indonesia dan kami tetap terus dibunuh. Kekerasan demi kekerasan selalu terjadi di Papua, dan itu dilakukan olah TNI dan Polri. Dan peristiwa itu terjadi saat umat TUHAN di Papua mau menyambut kelahiran Isa Almasih. Ini menunjukan bahwa Negara tidak menghargai umat beragama. Negara juga tidak menghargai orang Papua sebagai manusia ciptaan TUHAN. Koordinator NAPAS, Marthen Goo, yang saat itu bersama massa Aksi, ketika diwawancari beberapa media, menegaskan, di Papua, tanpa Indonesia, tanpa TNI dan Polri, rakyat Papua hidup aman dan damai. Justru dengan adanya institusi-institusi ini, membuat rakyat tidak nyaman, tidak damai, dan malah yanga ada hanya kekerasan. 
Dibubarkan saja Institusi yang justru membatai dan membunuh rakyat. Tidak ada artinya kalau institusi itu ada hanya untuk membantai orang tak berdosa. Kami datang ke sini, hanya mau menunjukan pada mabes Polri dan dunia, walau kami slalu bantai, diperkosa, dibunuh, kami akan tetap ada dan bersuara tentang kebenaran dengan cara-cara damai dan bermartabat. Hari ini kami datang ke Mabes Polri untuk bersuara atas penindasan yang dialami rakyat Papua. Besok juga kami akan datang karena pembunuhan ini akan selalu terjadi di Papua, yang dilakukan Oleh Aparat Negara terhadap masyarakat sipil. Tahun lalu, di bulan Desember 2011, ketika umat TUHAN hendak menyambut Natal, Polisi melakukan penyisiran besar-besaran di Paniai yang menewaskan puluhan warga sipil. Ada perempuan hamil pun ikut mati karena pengunsian. Ini kejahatan kemanusian yang dilakukan oleh Aparat Negara. Ini sangat keterlaluan. Dan di Negara Indonesia ini, tidak ada hak hidup bagi orang Papua. Hak hidup orang Papua terancam. 
Kami melihatnya, ada upaya pemusnaan orang Papua. Hal itu bisa diukur dengan, tiap saat rakyat Papua dipenjarahkan, dibantai dan dibunuh; tidak ada akses bagi wartawan nasional dan Internasional; Tidak ada intervensi kemanusiaan yang melakukan investigasi secara menyeluruh atas semua kejahatan kemanusiaan di Papua, dan Negara tidak membuka ruang Demokrasi melalui Dialog Damai Jakarta-Papua. Negara terlihat menghindari dari upaya damai dan melakukan pendekatan kekerasan dari tahun ke tahun. Kalau Aceh bisa Perundingan dan dimediasi oleh Pihak ketiga, Kenapa Papua tidak bisa? Apa maksud Negara dengan semua itu? Tandas Marthen Goo dengan nada kesal terhadap Negara. (BIKO***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar