Rabu, 28 November 2012

KEKRISTENAN DAN OTORITAS ALKITAB



“Suara  Nafiri” Ke-Empat :KEKRISTENAN DAN OTORITAS ALKITAB
   Oleh: Darius W. Nawipa

“Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.”
(Mzm. 119:105)

Semboyan Sola Scriptura (hanya Alkitab saja) yang dicetuskan pertama kali olehseorang reformator Protestan dari Jerman, Dr. Martin Luther menjadi sumber pertama Kekristenan Injili pada abad-abad sesudahnya yang menolak otoritas kepausan dan menjunjung tinggi otoritas Alkitab. Semangat ini nantinya mempengaruhi gereja-gereja Reformasi dengan berbagai aliran selanjutnya: Reformed/Presbyterian (mengikuti ajaran dari Dr. John Calvin, penerus Luther), Baptis, Methodist, Pentakosta, Karismatik, dll. Bahkan Dr. Calvin mengeksposisi hampir setiap kitab di dalam Alkitab di dalam setiap khotbahnya.Tidak heran, pada banyak gereja Protestan Injili, di dalam pengakuan imannya, mereka mengakui bahwa Alkitab adalah sumber pedoman bagi iman dan praktik hidup Kristen sehari-hari.
Pertanyaan lebih lanjut adalah benarkah gereja dan orang Kristen khususnya yang berada di tanah Papua sungguh-sungguh memegang teguh otoritas Alkitab sebagai dasar iman dan praktik hidup Kristen?TIDAK.Fakta yang menyedihkan adalah banyak orang dan gereja Kristen hari-hari ini meskipun menyetujui otoritas Alkitab sebagai dasar iman dan praktik hidup Kristen, namun secara hati dan praktik nyata, mereka menyangkalinya.Otoritas Alkitab sengaja digeser dan diganti menjadi otoritas yang berpusat pada manusia berdosa dan ilmu-ilmu dunia setan serta filsafat-filsafat dunia.Apa saja wujudnya?
Kecenderungan manusia berdosa adalah kecenderungan yang anti-otoritas, namun secara tidak sadar, makin menyuarakan anti-otoritas, mereka sebenarnya sedang menekankan otoritas diri mereka sebagai kebenaran untuk diikuti oleh para pengikutnya.Sebuah kontradiksi logika yang aneh dan ilogis.Oleh karena itu, otoritas utama yang sering dianut oleh banyak orang dan gereja Kristen di abad ini adalah otoritas yang berpusat pada manusia berdosa.

Otoritas ini bisa meliputi beberapa aspek:
Pertama, Otoritas telinga dan Nafsu duniawi.Rasul Paulus menasihati Timotius di dalam 2 Timotius 4:3, “Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya.”Di zaman akhir ini, Paulusmemperingatkan Timotius dan orang Kristen di abad ini bahwa ilah zaman akhir ini adalah telinga yang mendengar kepintaran manusia.Tidak heran, demi memuaskan telinganya, banyak orang Kristen yang mencari gereja yang cocok dengan telinganya, yaitu gereja yang mengajarkan ajaran duniawi atau filsafat manusia yang dibalut dengan segudang kutipan ayat Alkitab di luar konteks melengkapi kepintaran mereka.

Kedua, Otoritas Pemimpin Gereja. Karena berpusat pada telinga dan Nafsu duniawi, maka banyak orang Kristen kontemporer yang pragmatis percaya penuh pada apa yang dikatakan Si Pemimpin Gereja. Hal ini ditandai dengan banyakjemaat yang spontan (tanpa berpikir panjang) meneriakkan, “Amin”, ketika si pemimpin memberikan ceramah/ mengajar dan mengutip satu ayat untuk melengkapi pengetahuan pendidikan tingginya “semua orang menyambutnya dengan mengatakan, amin” Di satu sisi, hal ini ada benarnya (jika si pemimpin gereja bisa mempertanggungjawabkan ajarannya), namun di sisi lain, perlu dipertanyakan: apakah pemimpin gereja itu sebagai Tuhan yang harus ditaati setiap perkataannya? Misalnya, jika pemimpin gereja melarang jemaatnya untuk membaca buku Homelitic dan Adat-Istiadat Negativ, tentu nasihat ini bagus, namun pertanyaan lebih lanjut bahwa, apakah pemimpin gereja ini juga membekali jemaatnya dengan alasan pelarangan tersebut dan kesalahan fatal buku tersebut?

Jika pemimpin gereja hanya melarang membaca buku tersebut tanpa membekali jemaatnya, maka pemimpin gereja mendidik jemaatnya untuk loyal kepada si pemimpin gereja (apalagi yang beranimengklaim bahwa khotbahnya itu di“wahyu”kan langsung dari “Tuhan” bahkan khotbahnya diklaim merupakan hasil dari Pemahaman Alkitab langsung sambil minum kopi dengan “Tuhan Yesus” kemarin malam)! Hahaha…Tidak heran, beberapa orang Kristen yang berada di dalam gereja yang digembalakan oleh si pemimpin gereja ini ketakutan dalam memilih, membeli, dan membaca buku. Jangan-jangan, anggota jemaat juga kalau membeli buku tertentu, ia akan menelpon si Pemimpin gereja dulu untuk memastikan apakah buku ini beres atau tidak.

Ketiga, Otoritas tradisi (nenek moyang).Di sisi lain, beberapa (atau mungkinbanyak?) orang Kristen hari-hari ini khususnya yang berusia tua (di atas 40/50 tahun) notabene memegang teguh tradisi nenek moyang sebagai standar kebenaran bahkan di atas Alkitab, meskipun orang-orang ini berada di dalam gereja yang ketat mengajarkan Alkitab. Ada beberapa contoh: Pertama, beberapa orang Kristen khususnya banyak dari gereja Katolik Roma atau Gereja-gereja lama (saya percaya mungkin jika Anda bertanya kepada Pastor Katolik, apakah diperbolehkan sembahyang di depan kuburan/foto orang yang sudah meninggal, mungkin banyak dari mereka akan berkata TIDAK BOLEH) dengan mudahnya ikut-ikutan sembahyang/menyembah di depan foto orang yang sudah meninggal dengan alasan menghormati orang yang sudah meninggal. Saya pernah mendengar seorang berkata bahwa kalau jadiKristen/Protestan itu sulit, tidak boleh sembahyang, tetapi kalau jadi Katolik itu mudah, semua dibolehkan. Bagi saya, perkataan ini membuktikan bahwa tradisi sudah dijadikan berhala dan standar kebenaran untuk mencari agama yang “PAS” dan Gereja KINGMI juga sedang menuju ke arah yang sama oleh kebiasaan Pemimpin Gereja yang Vanatik. Kedua, anak sejak kecil BUKAN dididik untuk takut akan Tuhan dan menemukan panggilan Tuhan di dalam hidupnya, namun dididik dan diindoktrinasi untuk memenuhi keinginan orangtua yaitu meneruskan adat-istiadat mereka (tidak peduli apakah itu sesuai dengan panggilan Tuhan bagi si anak atau tidak). Ketiga, masih ada orang “Kristen” di Papua yang menyimpan benda-benda alam sebagai cermin untuk menolak setan/musuh yang hendak datang mencelakai dan mereka juga melaksanakan kebiasaan budaya yang jelas-jelas bertentangan dengan Alkitab.

Keempat, otoritas mistik. Yang lebih parah, beberapa (atau mungkin banyak?) orang Kristen hari-hari ini begitu tergila-gila dengan yang namanya mistik melalui sarana-sarana, seperti: dukun, paranormal, paikeda, adat-istiadat yang berlebihan dll. Saya melihat sendiri fakta bahwa ada seorang jemaat yang aktif melayani di gereja Injili di Papua pergi ke paranormal/dukun.Jika banyak orang “Kristen” dan gereja hari-hari ini tidak memegang teguh Otoritas Alkitab, maka saya menantang Anda untuk bertobat dan kembali kepada Alkitab!
Kembali kepada Alkitab berarti kembali memegang teguh Otoritas Alkitab sebagai sumber kebenaran bagi Iman dan praktik hidup Kristen.Pertanyaan selanjutnya, mengapa harus Alkitab? Karena Alkitab adalah satu-satunya wahyu Allah bagi umat pilihan-Nya yang ditulis oleh lebih dari 40 orang yang berbeda zaman, budaya, bahasa, bangsa, status sosial, dll. dengan inti berita: Asal mula dunia diciptakan, manusia diciptakan Allah, manusia berdosa, tidak ada jalan keluar bagi manusia kecuali cara Allah dengan mengutus Tuhan Yesus untuk mati disalib dan bangkit demi manusia berdosa, kuasa Roh Kudus membaharui hidup umat-Nya, dan persiapan menyambut kedatangan Tuhan Yesus kedua kalinya. Dan yang juga penting, Alkitab memiliki keakuratan historis yang tidak bisa dibandingkan dengan kitab-kitab agama lain, meskipun Alkitab bukanlah buku sejarah. Jika Saudara tidak mengandalkan dan menganggap remeh dengan Otoritas Alkitab, maka Saudara bukan makin pandai dan berhikmat, tetapi akandipermalukan oleh karena kebodohan, karena Alkitab sebagai sumber hikmat sejati.

Memegang teguh otoritas Alkitab berarti:
Pertama, percaya penuh akan ketidakbersalahan Alkitab dalam naskah aslinya. Jangan mengharapkan seorang Kristen dapat memegang teguh otoritas Alkitab, jika ia sendiri tidak percaya penuh akan ketidakbersalahan Alkitab dalam naskah asli (autographa)nya. Seorang yang tidak percaya penuh akan ketidakbersalahan Alkitab dalam naskah aslinya, maka dengan mudahnya ia akan mengkritik Alkitab tanpa terlebih dahulu mempelajari secara tuntas Alkitab. Kedua, menjadikan Alkitab bukan sebagai obyek, tetapi subyek. Setelah percaya penuh akan ketidakbersalahan Alkitab, maka orang yang memegang teguh Otoritas Alkitab tidak seharusnya hanya menjadikan Alkitab sebagai bahan penelitian (akademis), namun juga harus menjadikan Alkitab sebagai penilai bagi Iman dan praktik hidupnya, sehingga ia bukan hanya makin pandai mengerti dan menafsirkan Alkitab dengan telititetapi juga makin rohani dan rendah hati di hadapan Allah.

Orang Kristen ini akan dengan rela hati ditegur oleh Firman Tuhan tatkala Iman dan praktik hidupnya salah bahkan mendukakan hati Tuhan. Bagi orang Kristen yang seperti ini, yang terpenting adalah Firman dan Kehendak-Nya yang terjadi, bukan konsep manusianya sendiri yang berlaku atas diri dan tindakannya. Demikian Tuhan Yesus Berkati_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar