“Suara Nafiri” Ke-Empat :KEKRISTENAN DAN OTORITAS ALKITAB
Oleh: Darius W. Nawipa
“Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang
bagi jalanku.”
(Mzm. 119:105)
Semboyan Sola Scriptura (hanya Alkitab
saja) yang dicetuskan pertama kali olehseorang reformator Protestan dari
Jerman, Dr. Martin Luther menjadi sumber pertama Kekristenan Injili pada
abad-abad sesudahnya yang menolak otoritas kepausan dan menjunjung tinggi
otoritas Alkitab. Semangat ini nantinya mempengaruhi gereja-gereja Reformasi
dengan berbagai aliran selanjutnya: Reformed/Presbyterian (mengikuti ajaran
dari Dr. John Calvin, penerus Luther), Baptis, Methodist, Pentakosta,
Karismatik, dll. Bahkan Dr. Calvin mengeksposisi hampir setiap kitab di dalam
Alkitab di dalam setiap khotbahnya.Tidak heran, pada banyak gereja Protestan
Injili, di dalam pengakuan imannya, mereka mengakui bahwa Alkitab adalah sumber
pedoman bagi iman dan praktik hidup Kristen sehari-hari.
Pertanyaan lebih lanjut adalah
benarkah gereja dan orang Kristen khususnya yang berada di tanah Papua
sungguh-sungguh memegang teguh otoritas Alkitab sebagai dasar iman dan praktik
hidup Kristen?TIDAK.Fakta yang menyedihkan adalah banyak orang dan gereja
Kristen hari-hari ini meskipun menyetujui otoritas Alkitab sebagai dasar iman
dan praktik hidup Kristen, namun secara hati dan praktik nyata, mereka
menyangkalinya.Otoritas Alkitab sengaja digeser dan diganti menjadi otoritas
yang berpusat pada manusia berdosa dan ilmu-ilmu dunia setan serta
filsafat-filsafat dunia.Apa saja wujudnya?
Kecenderungan manusia berdosa adalah
kecenderungan yang anti-otoritas, namun secara tidak sadar, makin menyuarakan
anti-otoritas, mereka sebenarnya sedang menekankan otoritas diri mereka sebagai
kebenaran untuk diikuti oleh para pengikutnya.Sebuah kontradiksi logika yang
aneh dan ilogis.Oleh karena itu, otoritas utama yang sering dianut oleh banyak
orang dan gereja Kristen di abad ini adalah otoritas yang berpusat pada manusia
berdosa.
Otoritas
ini bisa meliputi beberapa aspek:
Pertama, Otoritas telinga dan Nafsu duniawi.Rasul
Paulus menasihati Timotius di dalam 2 Timotius 4:3, “Karena akan datang
waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan
mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan
telinganya.”Di zaman akhir ini, Paulusmemperingatkan
Timotius dan orang Kristen di abad ini bahwa ilah zaman akhir ini adalah
telinga yang mendengar kepintaran manusia.Tidak heran, demi memuaskan
telinganya, banyak orang Kristen yang mencari gereja yang cocok dengan
telinganya, yaitu gereja yang mengajarkan ajaran duniawi atau filsafat manusia
yang dibalut dengan segudang kutipan ayat Alkitab di luar konteks melengkapi
kepintaran mereka.
Kedua, Otoritas Pemimpin Gereja. Karena berpusat
pada telinga dan Nafsu duniawi, maka banyak orang Kristen kontemporer yang
pragmatis percaya penuh pada apa yang dikatakan Si Pemimpin Gereja. Hal ini
ditandai dengan banyakjemaat yang spontan (tanpa berpikir panjang) meneriakkan,
“Amin”, ketika si pemimpin memberikan ceramah/ mengajar dan mengutip satu ayat
untuk melengkapi pengetahuan pendidikan tingginya “semua orang menyambutnya
dengan mengatakan, amin” Di satu sisi, hal ini ada benarnya (jika si pemimpin
gereja bisa mempertanggungjawabkan ajarannya), namun di sisi lain, perlu
dipertanyakan: apakah pemimpin gereja itu sebagai Tuhan yang harus ditaati
setiap perkataannya? Misalnya, jika pemimpin gereja melarang jemaatnya untuk
membaca buku Homelitic dan Adat-Istiadat Negativ, tentu nasihat ini bagus,
namun pertanyaan lebih lanjut bahwa, apakah pemimpin gereja ini juga membekali
jemaatnya dengan alasan pelarangan tersebut dan kesalahan fatal buku tersebut?
Jika pemimpin gereja hanya melarang
membaca buku tersebut tanpa membekali jemaatnya, maka pemimpin gereja mendidik
jemaatnya untuk loyal kepada si pemimpin gereja (apalagi yang beranimengklaim
bahwa khotbahnya itu di“wahyu”kan langsung dari “Tuhan” bahkan khotbahnya
diklaim merupakan hasil dari Pemahaman Alkitab langsung sambil minum kopi
dengan “Tuhan Yesus” kemarin malam)! Hahaha…Tidak heran, beberapa orang Kristen
yang berada di dalam gereja yang digembalakan oleh si pemimpin gereja ini
ketakutan dalam memilih, membeli, dan membaca buku. Jangan-jangan, anggota
jemaat juga kalau membeli buku tertentu, ia akan menelpon si Pemimpin gereja dulu
untuk memastikan apakah buku ini beres atau tidak.
Ketiga, Otoritas tradisi (nenek moyang).Di sisi
lain, beberapa (atau mungkinbanyak?) orang Kristen hari-hari ini khususnya yang
berusia tua (di atas 40/50 tahun) notabene memegang teguh tradisi nenek moyang
sebagai standar kebenaran bahkan di atas Alkitab, meskipun orang-orang ini
berada di dalam gereja yang ketat mengajarkan Alkitab. Ada beberapa contoh: Pertama,
beberapa orang Kristen khususnya banyak dari gereja Katolik Roma atau Gereja-gereja
lama (saya percaya mungkin jika Anda bertanya kepada Pastor Katolik, apakah
diperbolehkan sembahyang di depan kuburan/foto orang yang sudah meninggal,
mungkin banyak dari mereka akan berkata TIDAK BOLEH) dengan mudahnya
ikut-ikutan sembahyang/menyembah di depan foto orang yang sudah meninggal
dengan alasan menghormati orang yang sudah meninggal. Saya pernah mendengar
seorang berkata bahwa kalau jadiKristen/Protestan itu sulit, tidak boleh
sembahyang, tetapi kalau jadi Katolik itu mudah, semua dibolehkan. Bagi saya,
perkataan ini membuktikan bahwa tradisi sudah dijadikan berhala dan standar
kebenaran untuk mencari agama yang “PAS” dan Gereja KINGMI juga sedang menuju
ke arah yang sama oleh kebiasaan Pemimpin Gereja yang Vanatik. Kedua,
anak sejak kecil BUKAN dididik untuk takut akan Tuhan dan menemukan panggilan
Tuhan di dalam hidupnya, namun dididik dan diindoktrinasi untuk memenuhi
keinginan orangtua yaitu meneruskan adat-istiadat mereka (tidak peduli apakah
itu sesuai dengan panggilan Tuhan bagi si anak atau tidak). Ketiga,
masih ada orang “Kristen” di Papua yang menyimpan benda-benda alam sebagai
cermin untuk menolak setan/musuh yang hendak datang mencelakai dan mereka juga
melaksanakan kebiasaan budaya yang jelas-jelas bertentangan dengan Alkitab.
Keempat, otoritas mistik. Yang lebih parah, beberapa
(atau mungkin banyak?) orang Kristen hari-hari ini begitu tergila-gila dengan
yang namanya mistik melalui sarana-sarana, seperti: dukun, paranormal, paikeda,
adat-istiadat yang berlebihan dll. Saya melihat sendiri fakta bahwa ada seorang
jemaat yang aktif melayani di gereja Injili di Papua pergi ke
paranormal/dukun.Jika banyak orang “Kristen” dan gereja hari-hari ini tidak
memegang teguh Otoritas Alkitab, maka saya menantang Anda untuk bertobat dan kembali
kepada Alkitab!
Kembali kepada Alkitab berarti kembali
memegang teguh Otoritas Alkitab sebagai sumber kebenaran bagi Iman dan praktik
hidup Kristen.Pertanyaan selanjutnya, mengapa harus Alkitab? Karena Alkitab
adalah satu-satunya wahyu Allah bagi umat pilihan-Nya yang ditulis oleh lebih
dari 40 orang yang berbeda zaman, budaya, bahasa, bangsa, status sosial, dll.
dengan inti berita: Asal mula dunia diciptakan, manusia diciptakan Allah,
manusia berdosa, tidak ada jalan keluar bagi manusia kecuali cara Allah dengan
mengutus Tuhan Yesus untuk mati disalib dan bangkit demi manusia berdosa, kuasa
Roh Kudus membaharui hidup umat-Nya, dan persiapan menyambut kedatangan Tuhan
Yesus kedua kalinya. Dan yang juga penting, Alkitab memiliki keakuratan
historis yang tidak bisa dibandingkan dengan kitab-kitab agama lain, meskipun
Alkitab bukanlah buku sejarah. Jika Saudara tidak mengandalkan dan menganggap
remeh dengan Otoritas Alkitab, maka Saudara bukan makin pandai dan berhikmat,
tetapi akandipermalukan oleh karena kebodohan, karena Alkitab sebagai sumber
hikmat sejati.
Memegang
teguh otoritas Alkitab berarti:
Pertama, percaya penuh akan ketidakbersalahan Alkitab
dalam naskah aslinya. Jangan mengharapkan seorang Kristen dapat memegang teguh
otoritas Alkitab, jika ia sendiri tidak percaya penuh akan ketidakbersalahan
Alkitab dalam naskah asli (autographa)nya. Seorang yang tidak percaya penuh
akan ketidakbersalahan Alkitab dalam naskah aslinya, maka dengan mudahnya ia
akan mengkritik Alkitab tanpa terlebih dahulu mempelajari secara tuntas
Alkitab. Kedua, menjadikan
Alkitab bukan sebagai obyek, tetapi subyek. Setelah percaya penuh akan
ketidakbersalahan Alkitab, maka orang yang memegang teguh Otoritas Alkitab
tidak seharusnya hanya menjadikan Alkitab sebagai bahan penelitian (akademis),
namun juga harus menjadikan Alkitab sebagai penilai bagi Iman dan praktik
hidupnya, sehingga ia bukan hanya makin pandai mengerti dan menafsirkan Alkitab
dengan telititetapi juga makin rohani dan rendah hati di hadapan Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar