Lampiran III (untuk Para Pendeta)
PERSEMBAHAN PERSEPULUHAN
Sebuah Tantangan Praktek Beriman
(Pdt. S.Th. Kaihatu)
Asal-mula Adanya Persembahan
Penelitian antropologi budaya menginformasikan kepada kita bahwa pada mula pertama sekali manusia hidup dalam fase ‘pemetik’. Mereka hidup dari buah buah pohon. Pada masa itu mereka menyembah bumi. Sebab bumi dilihat sebagai ‘Sang Ibu’ yang menghidupi.
Fase ini diikuti oleh fase kedua yang disebut sebagai fase ‘berburu’. Manusia memburu binatang untuk dimakan. Karena binatang-buruan itu ‘kelihatannya’ sudah disediakan bumi, maka tetap saja bumi disembah sebagai ‘sang Ibu’ yang menghidupi.
Fase ketiga adalah fase ‘pertanian’. Apa yang dinikmati dalam fase pertama tadi, sekarang dibudi-dayakan. Namun ada perobahan penting dalam penyembahan. Dalam budaya pertanian-awal, selain fungsi bumi sebagai tempat bercocok tanam, maka dua hal menjadi mengemuka, yakni hujan dan matahari. Orang menyadari bahwa tanpa matahari, tidak akan ada kehidupan di bumi. Obyek penyembahan bergeser, dari penyembahan terhadap bumi, menjadi penyembahan terhadap matahari. Dalam rangka ini matahari dilihat sebagai raja dan panglima yang perkasa yang menakluk- kan kegelapan malam.
Fase keempat adalah fase ‘penggembala’[1]. Apa yang dinikmati dalam fase kedua tadi, sekarang dibudi-dayakan. Tetapi seperti kita mengerti, ternak yang digembalakan tergantung dari rumput, rumput tergantung dari hujan dan hujan tergantung dari matahari, maka obyek penyembahan terus pada matahari. Bukan pada bumi[2].
Krisis kehidupan nampaknya tidak intens dalam fase pemetik dan fase ber-buru. Sebab pada kedua fase ini kekurangan-pangan dijawab dengan langkah sederhana, yakni berpindah tempat. Itulah sebabnya kedua fase ini sering disebut sebagai satu fase saja, yakni fase nomaden. Sebetulnya dalam arti sempit, fase penggembalaan ternak juga bisa dipandang sebagai fase nomaden. Sebab dalam fase ini orang berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari rumput dan air bagi hewan gembalaannya. Bedanya adalah bahwa pada fase penggembala sudah ada semacam ‘home base’ kemana mereka pasti akan pulang. Budaya menetap sebetulnya baru benar benar menjadi kenyataan dalam fase pertanian. Jadi sebetulnya fase penggembala adalah semacam penghubung antara budaya nomaden dan budaya menetap.
Persoalan muncul ketika terjadi krisis krisis yang menyebabkan hidup menjadi sulit. Ada banjir besar, ada musim kering yang panjang dsb, gunung meletus dsb. Sejak dari agama Purba, orang mengimani, bahwa ada kekuatan penentu kehidupannya dan berada diluar dirinya. Dan guna menyenangkan hati ‘Sang Kekuatan’ itu, -baik ketika semuanya berhasil dengan baik, maupun ketika terjadi krisis- maka mereka memberikan ‘persembahan’. Entah dari hasil tani, pun ternak pun harta milik. Sejajar dengan perkembangan peradaban, yang kemudian bertambah dengan perniagaan dan bidang bidang lain yang sekarang dikenal sebagai sektor jasa, maka persembahan juga makin bervariasi. Ini kita catat semuanya untuk menggaris-bawahi empat hal.
Pertama, bahwa sekalipun gaya hidup dan gaya mata pencaharian berkembang, logika bahwa rejeki melibatkan ‘campur tangan dari suatu kekuatan yang tak terlihat yang berada diatas’ tetap saja berlaku sepanjang sejarah peradaban.
Kedua, bahwa persembahan itu diberikan dari berbagai jenis mata pencaharian yang makin bervariasi. Ketiga, pengaturan terhadap apa yang dipersembahkan itu makin lama makin bervariasi juga. Keempat, ini semua diyakini sebagai kehendak dari kekuatan yang tak terlihat itu.
Persembahan dalam Tradisi Alkitab.
Fase fase antropologi budaya yang dikatakan diatas, terutama fase ketiga dan keempat juga terjadi dikalangan agama-agama Semitik, dalam hal ini agama Yahudi, sejak Israel kuno. Dalam kitab Kejadian misalnya kita membaca tentang Kain dan Habil yang mempersembahkan hasil pertanian dan peternakan.
Dalam pemahaman spiritual orang Israel, karena Allah sudah melakukan kebaikan, maka umat mengungkapkan kesaksian mereka tentang apa yang sudah Allah lakukan itu dalam bentuk korban dan persembahan. Umat yang tidak melakukannya akan dipandang sebagai pihak yang tidak tahu berterimakasih. Sebab Allah telah memberikan berkat secara cuma-cuma pada jalan kehidupan. Inilah gambaran situasi spiritual yang harus kita mengerti, kalau kita mau memahami korban dan persembahan dalam Alkitab.
a. Perjanjian Lama.
Dalam Alkitab Perjanjian Lama kita membaca bagaimana persembahan diterima berdasarkan kwalitasnya. Artinya melalui kwalitas persembahan kita bisa melihat sikap hati orang yang memberikan persembahan itu. Orang yang tulus memberikan yang terbaik untuk dipersembahkan. ‘Menyisihkannya’ sejak awal untuk dipersembahkan. Orang yang tidak tulus, menjadikan persembahan sebagai basa-basi, dan karena itu memberikan apa yang ‘disisakan’ di akhir semuanya sebagai persembahan[3].
Karena Allah memperhatikan sikap hati inilah, maka persembahan Kain ditolak, sementara persembahan Habil diterima[4]. Terlepas dari apa yang terjadi kemudian, kita belajar satu hal, bahwa, Tuhan Allah melihat sikap hati. Dan karena itu sikap kita ketika memberikan persembahan harus cocok dengan apa yang Tuhan Allah inginkan.
Dalam rangka pembahasan kita pertama sekali kita perlu ingat bahwa ada dua istilah yang sangat dekat penggunaannya dalam Alkitab. Istilah-istilah itu adalah ‘Korban’ dan ‘Persembahan’.
Kalau istilah ‘korban’ digunakan, maka itu pasti menyangkut sesuatu yang disembelih. Ada darah di sana. Sementara kalau istilah ‘persembahan’ digunakan, maka tidak harus ada yang disembelih. Jadi istilah persembahan lebih luas jangkauannya dari istilah korban.
Kita perlu mengenal lebih dahulu jenis jenis korban dan persembahan dalam tradisi Alkitab, sebab dengan demikian kita juga akan memahami makna korban dan persembahan itu sendiri. Karena banyaknya, kita ikhtisarkan saja sebagai berikut:
1. Korban Pendamaian
Dilakukan untuk meminta pendamaian bagi dosa dosa yang tidak disengaja (Bil. 15/22 ff). Ini tidak berlaku bagi dosa yang disengaja (Bil 15/30-31). Ini adalah korban yang diberikan untuk meminta pendamaian atas dosa-dosa yang dilakukan. Dengan melakukan perbuatan dosa, manusia menjadi seteru Allah. Dalam posisi itu manusia berhutang nyawa pada Allah. Nyawa itu dilambangkan dengan darah. Maka yang harus terjadi adalah penebusan yang dilambangkan dengan darah juga, sebagai cara pendamaian. Korban Pendamaian ini terbagi atas dua jenis:
a. Korban Penghapus Dosa
Dilakukan untuk untuk memperbaiki kembali hubungan dengan Allah dan untuk menebus dosa.
b. Korban Penebus Salah
Berhubungan dengan pertobatan seseorang yang telah mencuri milik sesamanya, atau juga lalai membayar nazar atau tidak membayar iuran kepada Imam. Mirip dengan korban penghapus dosa. Sebelum hewan korban disembelih, orang yang merasa dirinya berdosa, harus meletakkan tangannya pada kepala hewan tersebut sebagai lambang bahwa dia menyerahkan dosanya untuk ditanggung oleh binatang tadi.
Dalam Imamat 4 – 7 kita membaca sejumlah aturan tentang korban penghapus dosa dan korban penebus salah ini.
2. Korban Pemujaan
a. Korban Bakaran
Lambang penyerahan diri kepada Allah ( Im.1)
b. Korban Keselamatan
Sama dengan Korban bakaran, tapi hanya lemaknya yang dibakar (Im.3; 7/11-12, 28 – 34).
i. Korban Puji-pujian
Tanda terimakasih atas karunia karunia Tuhan
ii Korban Nazar
Dipersembahkan dengan suatu janji secara sukarela, akan tetapi begitu janji diucapkan, maka Tuhan Allah menagih janji itu agar ditepati (Ul 23/21-23)
iii. Korban Sukarela
Dipersembahkan dengan sukarela tanpa suatu janji
c. Korban Sajian
Dipersembahkan sebagai tambahan pada korban bakaran dan korban sembelihan sebagai lambang persembahan hasil bumi. (Im 2; 7/12 -14; Ul 15/ 3 – 10)
Tentu saja kita bisa memperdalam dan menemukan jenis korban lain juga seperti korban perjanjian, korban kecemburuan dan lain lain lagi. Namun hal korban bukanlah fokus kita pada pembahasan ini. Ikhtisar diatas dari sudut iman Kristen sebetulnya hanya mau menunjukkan betapa banyak kelemahan manusiawi kita yang ditanggung oleh korban satu pribadi saja, yakni Yesus Kristus. Sehingga melalui Dia kita terbebas dari rumitnya korban korban khas Perjanjian Lama. Dalam kerangka ini maka ‘korban’ dalam ritual ibadah Kristen tidak lagi harus berdarah-darah. Sebab seluruh darah korban itu menunjuk kepada darah Yesus Kristus yang ditumpahkan di kayu salib.
Sementara itu mengenai hal Persembahan, ternyata banyak sekali bentuknya.
Karena banyaknya kita akan sebutkan beberapa saja.
• Pertama. Persembahan dalam arti umum. Persembahan ini adalah pemberian berupa uang atau harta benda lainnya bagi pekerjaan Tuhan. Kita temukan ini misalnya untuk pembuatan kemah Suci (Kel. 35/5) atau juga untuk menolong sesama orang miskin . (Kis. 24:17).
• Kedua. Persembahan pagi dan petang atau persembahan tetap (Kel 29/38). Persembahan ini berhubungan dengan pengakuan bahwa Tuhan Allah sendirilah yang menuntun umatnya keluar dari penderitaan. Dan tetap bersedia berdiam diantara mereka. Persembahan ini dilakukan dalam berbagai variasi, dengan nama-nama yang berbeda, sesuai dengan tekanan peristiwanya. Misalnya persembahan cucuran atau persembahan curahan.
• Ketiga. Persembahan Khusus, yakni sesuatu yang dipisahkan untuk Tuhan. Karena umat menatang, menimang atau mengunjuk persembahan ini, maka persembahan ini disebut juga persembahan tatangan, persembahan timangan atau persembahan unjukkan. Kita membaca tentang persembahan persembahan ini dalam Kel 25/2; 29/ 24 – 28 ; Bil 18/8, 19; Neh. 12/44; dan banyak lagi bagian Alkitab yang menunjuk pada hal tersebut.
• Keempat. Persembahan Pentahbisan. Ini khususnya berhubungan dengan pentahbisan Imam (Im 8/22-31).
• Kelima. Persembahan Persepuluhan. Ini akan dibahas lebih lanjut karena merupakan topik kita saat ini.
b. Perjanjian Baru
Tidak bisa kita ragukan lagi bahwa Yesus dan para murid-nya, juga jemaat jemaat pertama adalah ‘anak zaman’ mereka. Yesus pasti mempersembahkan persembahan persembahan dalam tradisi Yahudi, dan itu berarti dalam tradisi Perjanjian Lama di Bait Suci. Para murid pasti melakukan hal yang serupa, karena mereka juga ada dalam tradisi Yahudi. Kesimpulan logis yang sama bisa ditarik dari Jemaat jemaat perdana. Karena bagian terbesar mereka pada awalnya adalah Kristen asal Yahudi. Tapi salah satu peristiwa paling mencolok mengenai persembahan bisa kita lihat dalam peristiwa permintaan Paulus kepada jemaat jemaat Helenis untuk membantu jemaat induk di Yerusalem[5]. Ada dinamika pemahaman diakonis yang sangat menarik disini. Sebab persembahan itu dikerahkan dari Jemaat jemaat non Yahudi kepada jemaat jemaat yang berlatar belakang Yahudi, yang jauh dan tidak mereka kenal. Tetapi apa yang diperjuangkan Paulus adalah pikiran bahwa pemberian persembahan merupakan bentuk pengucapan syukur kepada Allah yang dalam Yesus Kristus menyelamatkan umat manusia. Jadi ketika itu diberikan untuk menolong Jemaat di Yerusalem, maka persembahan itu tetap dilihat sebagai pengucapan syukur dan bukan pemberian biasa. Akan tetapi hasilnya adalah solidaritas antara Kristen Yahudi dan Kristen Helenis dalam jemaat purba yang kemudian menentukan perkembangan Gereja selanjutnya[6]
Seluruh uraian mengenai persembahan yang disebutkan diatas, tergolong dalam persembahan pemujaan. Persembahan persembahan yang mengungkapkan pengakuan bahwa tanpa Tuhan umat tidak akan menerima berkat, tetapi sekaligus jawaban terhadap tantangan kehidupan, bahwa hidup orang percaya, aman dalam tangan Tuhan. Salah satunya yang sering masih menjadi kontroversi adalah Persembahan Persepuluhan.
Persembahan Persepuluhan
Topik persembahan persepuluhan ini telah menimbulkan semacam kontroversi dan dilemma di GPIB. Dikatakan kontroversi karena ada banyak orang yang tidak menyetujui adanya persembahan persepuluhan. Mereka melihat ini dari segi ekonomis memberatkan. Mereka melihat ini sebagai semacam pajak dalam bergereja. Mereka juga melihat ini memberatkan karena sudah ada PTB. Bahkan ada yang menuduh Gereja menjadi materialistik dengan memberlakukan persembahan persepuluhan. Dikatakan dilemma, karena banyak gereja dan warga gereja juga mengatakan bahwa GPIB bukanlah gereja yang benar, karena tidak menjalankan perpuluhan. Malahan banyak warga GPIB yang mempersembahkan persepuluhan di gereja lain karena di GPIB sendiri tidak diberlakukan persembahan persepuluhan.
Kontroversi dan dilemma tentang persembahan persepuluhan makin ramai karena ada kenyataan bahwa ada warga Gereja yang mempersembahkan perpuluhannya kepada Yayasan, Lembaga tertentu, malahan kepada Pendeta atau Hamba Tuhan yang melayani. Dan yayasan, lembaga, apalagi hamba Tuhan ini merasa, bahwa itu adalah berkat Tuhan khusus bagi dia, dan menikmatinya.
Beberapa Praktek Persembahan Persepuluhan dalam Alkitab
Praktek Persepuluhan kita baca dalam berbagai bagian Alkitab, terutama Kitab Perjanjian Lama. Kenyataan ini bisa kita fahami karena Umat Israel sangat menekankan hal hal ritual yang dalamnya ada korban dan persembahan. Dalam iman Kristen semuanya itu menuju kepada Yesus Kristus. Namun itu tidak berarti bahwa masyarakat Perjanjian Baru tidak melaksanakan persembahan sama sekali. Bisa dikatakan bahwa orang orang Kristen generasi pertama pasti masih mengikuti tradisi Yahudi, kecuali dalam satu hal yakni korban yang berdarah. Tradisi perjanjian Baru itu yang kemudian sampai kepada kita, termasuk persembahan persepuluhan.
Pemberian persepuluhan sebagai persembahan kita baca pertama sekali dalam Kejadian 14/20[7]. Dikatakan di sana, bahwa seorang raja bernama Melkisedek, sekaligus imam Allah yang Maha tinggi, keluar menyambut Abram, setelah Abram berhasil mengalahkan banyak raja-raja lain yang menawan Lot sekeluarga. Dan Abram memberikan kepadanya sepersepuluh dari semuanya
Nama Melkisedek itu berarti ‘Raja Kebenaran’. Nama itu berasal dari dua patah kata: Melekh yang berarti Raja, dan Tzadik yang berarti kebenaran atau kebijaksanaan. Maka, mereka yang membaca ayat ini dengan mendalam akan mengerti, bahwa Abram memberikan sepersepuluh dari semua yang dia dapat dari perang mengalahkan para raja, kepada Raja Kebenaran yang adalah Imam Allah Yang Maha-tinggi’. Mudah-mudahan jelas bagi kita -yang menghubungkan gelar Raja dan Imam pada orang yang sama- bahwa ini adalah Tuhan sendiri.
Abraham -Bapa orang beriman- memberikan sepersepuluh dari pendapatannya kepada Tuhan. Ini data pertama tentang persepuluhan, yaitu bahwa orang beriman memberikan persepuluhan kepada Tuhan dari semua hasilnya.
Dalam Kejadian 28/22 kita membaca bahwa setelah mengalami mimpi di Betel, Ya-kub berjanji, bahwa dia akan mempersembahkan sepersepuluh dari semua yang Tuhan berikan kepadanya kelak. Perhatikanlah kenyataan yang luar-biasa ini. Yakub waktu itu barulah seorang pelarian. Dia tidak memiliki apa-apa. Tapi dia bernazar tentang perse-puluhan.
Orang beriman bernazar atau berjanji bagi Tuhan untuk memberikan persepuluhan dari semua hasilnya kepada Tuhan, justru ketika dia masih dalam usaha untuk mencapai hasil.
Dalam uraian kepada orang Ibrani[8] (Ibr 7/9) kita membaca kenyataan yang menarik. Suku Lewi -karena tidak mendapat pembagian tanah- berhak atas persepuluhan. Dari persembahan itulah mereka hidup. Dengan kata lain orang Lewi mendapat penghasilan dari persembahan persepuluhan umat. Namun dari mereka pun -karena mereka keturunan Abraham, ditarik juga persembahan persepuluhan.
Kita harus mengatakan kenyataan yang jujur ini. Bahwa tidak seorangpun bisa mengatakan diri bebas dari persembahan persepuluhan sekalipun dia hidup dari persembahan persepuluhan itu sendiri.
Dalam II Tawarikh pasal 31, kita membaca bagaimana Raja Hizkia memerintahkan agar Israel hidup sesuai dengan kehendak Allah. Dalam rangka itu Hizkia mengatur pengumpulan dan pendistribusian persembahan. Termasuk didalamnya persembahan persepuluhan. Sang Raja juga ikut membayar kewajibannya. Ayat ayat terakhir dari pasal 31 ini menyimpulkan bahwa begitulah Hizkia bertindak sesuai dengan kehendak Tuhan dan karena itu dia berhasil dalam semua usahanya.
Kita melihat kenyataan menarik bahwa ada hubungan antara pemberian persembahan -termasuk dalamnya persembahan persepuluhan- sebagai pelaksanaan kehendak Tuhan, dan keberhasilan dalam usaha.
Dalam Nehemia pasal 13 kita membaca, bagaimana dalam ketaatannya kepada hukum -Taurat- Nehemia melakukan hal yang sama dengan Hizkia yang disebutkan diatas, termasuk hal persembahan persepuluhan umat dan segala pengaturan persembahan yang lain juga. Dengan cara itu kehidupan umat itu kembali benar di mata Tuhan.
Kita belajar bahwa ada memang banyak hal yang menunjukkan kepatuhan kita terhadap kehendak Tuhan. Dan persembahan persepuluhan merupakan salah satu yang signifikan diantara semua itu.
Perjanjian Baru memberikan tanda yang jelas bahwa Persembahan Persepuluhan berlaku. Sejumlah orang yang membayarnya melakukan hal itu dalam kemunafikan, sehingga ditegur[9] oleh Yesus (Mat. 23/23; Luk 11/42; 18/12).
Pada akhirnya kita harus melihat kenyataan Jemaat- Jemaat Pertama. I Kor 9/ 7-14[10], 16/2[11], II Kor 8/1 -15[12], Gal 6/6[13]; I Tim 5/17-18[14] dan Ibr 7, semuanya menunjukkan bahwa hal persembahan persepuluhan tidak asing dalam Jemaat jemaat pertama. Justru sejajar dengan itu kita melihat juga bahwa ‘korban berdarah’ seperti yang jelas dalam tradisi Yahudi makin memudar.
Kita belajar bahwa tidak ada satu ayatpun dalam Perjanjian Baru yang membatalkan atau yang mengusulkan penggantian pemberian Persembahan Persepuluhan.
Doktrin Persembahan Persepuluhan Dalam Alkitab
Dari praktek yang diuraikan diatas, kita lalu bisa mengatakan bahwa ada dua fase yang bisa kita baca dalam keseluruhan Alkitab tentang persembahan persepuluhan. Fase pertama adalah Fase Perjanjian Lama yang ditandai dengan hukum hukum Musa. Fase kedua adalah fase Perjanjian Baru yang ditandai dengan ajaran Yesus dan surat surat Pastoral, terutama surat surat Paulus.
Dalam fase Perjanjian Lama yang ditandai dengan Hukum Hukum Musa kita melihat beberapa hal penting yang perlu kita catat.
Pertama, Persembahan Persepuluhan itu diperintahkan sebagai sesuatu yang diharuskan. (Im. 27/30; Mal.3/10).
Kedua, Persembahan Persepuluhan itu diberikan dengan beberapa kepentingan.
1 Untuk Orang Lewi (Bil 18/21 -24)
Orang Lewi tidak mendapat tanah sebagai milik pusaka. Mereka ditugaskan untuk hal hal menyangkut Bait Allah. Karena itu mereka hidup dari persembahan persepuluhan umat.
2. Sepersepuluh dari sepersepuluh yang diberikan pada orang Lewi itu harus
mereka persembahkan sebagai persembahan persepuluhan mereka (Bil. 18/26; Neh 10/37; 12/44).
Jadi, sekalipun orang Lewi hidup dari persembahan persepuluhan, namun mereka tidak bebas dari hal mempersembahkan persembahan persepuluhan itu sendiri.
3. Sepersepuluh dari persembahan persepuluhan setiap tiga tahun sekali diberikan kepada orang asing/miskin, orang Lewi, para janda dan anak yatim (Ul. 14/27-29; 26/12 – 14).
Dengan demikian jelas sekali bahwa peruntukan persembahan persepuluhan adalah untuk menolong mereka yang sengsara.
4. Persembahan Persepuluhan itu untuk menjadi Persediaan di rumah Tuhan (Mal. 3/10).
Istilah Rumah Tuhan disini menunjuk pada Institusi atau persekutuan yang ha-rusnya menjadi pelaksana kasih Allah dalam penggunaan persembahan Persepuluhan itu.
5. Persembahan Persepuluhan diberikan sebagai bentuk penghormatan dan kepatuhan terhadap Tuhan Allah (Ams. 3/9-10)
Hasil pertama yang disisihkan selalu berhubungan dengan persembahan Persepuluhan. Mempersembahkannya berarti memuliakan Tuhan sebagai penjamin berkat dalam kehidupan.
Ketiga waktu untuk membawa persembahan persepuluhan itu adalah secara tahunan, bersamaan dengan semua persembahan yang lain untuk upacara Hari Raya (Ul 12/6-7; 14/22-26).
Keempat bahwa Persembahan Persepuluhan itu adalah Milik Allah dan bukan milik orang yang mempersembahkannya (Im. 27/30 – 34; Mal 3/8).
Kelima kemana persembahan Persepuluhan itu harus di bawa, yakni ke rumah Tuhan (II Taw. 31/12; Neh. 10/38; 12/44; 13/5, 12; Mal 3/10).
Keenam, kalau persembahan persepuluhan itu dipinjam, maka ketika dibayar harus ditambahkan kepada pinjaman itu seperlima atau dua persepuluh. Dengan demikian keseluruhan yang dikembalikan adalah tiga persepuluh (Im 27/31)
Ketujuh kalau ditukar, maka yang ditukar berikut tukarannya harus dibayar (Im 27/33).
Dengan demikian jelaslah bahwa bagi dunia Perjanjian Lama, Persembahan Persepuluhan merupakan bagian dari hukum kehidupan, dalam hal ini, Hukum Taurat.
Dalam Fase Perjanjian Baru ketika Yesus Kristus mengajar maka Yesus Kristus juga menyinggung persembahan persepuluhan.
Kita bisa melihat tanggapan Yesus itu dalam Mat 23/23; Luk 11/42; Bd Mat 5/20 dgn Luk 18/11-12; Lihat juga Mat 10/10; Luk 16/16. Kesulitan kita adalah kebiasaan yang sifatnya ‘konkordatif’[15] dalam memahami Alkitab. Padahal, terhadap pertanyaan apakah Tuhan Yesus mempersembahkan persembahan persepuluhan, maka acuan kita mestinya bukan hanya kata kata ‘persepuluhan’ yang ‘keluar dari mulut’[16] Tuhan Yesus. Sebagai putera Yahudi, pasti Yesus memberikan persembahan persepuluhan, sebab hal itu dilakukan sebagai hukum kehidupan keagamaan khas Yahudi. Maka kata kata Tuhan Yesus dalam Mat 5 : 17 – 20 bagi kita mestinya berarti bahwa bukan hanya Yesus, tetapi juga para muridNya adalah pelaksana pelaksana persembahan Persepuluhan.
Selain Yesus, Rasul Paulus juga bicara tentang hal yang sama:
1. Mengkritik pelanggaran terhadap hal hal yang menyangkut hal hal yang tabu
untuk dilakukan (Rm 2/22) atau perampokan terhadap Bait Suci (Mal 3/8 – 10)
dan penggunaan benda benda suci (Im 27)
2. Bahwa pengajar yang harus di beri bayaran (Gal. 6/6)
3. Bahwa Tuhan Allah menetapkan bantuan bagi para pelayanNya (I Kor 9/7-14, I
Tim 6/ 17-18).
4. Orang Kristen juga harus memberi sebab Allah sendiri telah memberkati mereka
dengan banyak berkat (I Kor 16/2).
5. Keturunan Abraham -terutama secara iman- harus berjalan dalam jejak jejak
iman yang dicontohkan Abraham.
6. Imamat Melkisedek adalah kekal dan karena itu harus dipelihara oleh keturunan
Abraham (Ibr 6/20; 6/1-11, 17, 21).
7. Persembahan Persepuluhan adalah bukti kepatuhan dan penghargaan atas berkat
berkat Tuhan (Rom 4/12; Ibr 7/6 -10; I Kor 9/ 7 – 14; I Tim 6/17 – 18; Bd. Mal
3/8 – 10; Ams 3/9 – 10; Kej 14/20; Ul 8/10 – 20).
Berkat-berkat Berhubungan Dengan Persembahan Persepuluhan.
Alkitab juga bicara tentang berkat berkat, berhubungan dengan persembahan persepuluhan ini.
- Berkat karena kepatuhan ( lihat Tawarikh dan Nehemia yang dikutip diatas )
- Rumah Tuhan tidak akan mengalami kekurangan (Mal. 3/10), sehingga tetap bisa melaksanakan tugasnya dengan baik.
- Pelayan pelayan Tuhan tidak akan kelaparan (I Kor. 9/7 – 14; I Tim 5/17 – 18; Neh 13/8 – 10; Mal. 3/8 – 10.
- Berkat material dan spiritual (Mal 3/8 – 10; Ams 3/9 – 10; II Taw 31; Neh 13).
Ada baiknya kita membuat beberapa kesimpulan sederhana tentang petunjuk petunjuk Alkitab yang sempat kita kumpulkan diatas.
Pertama jelas sekali bahwa persembahan persepuluhan itu punya dasar dalam Alkitab. Tokoh tokoh Alkitab mempraktekkannya dan mengajarkannya.
Kedua, jelas juga bahwa persembahan persepuluhan itu diharuskan oleh Alkitab. Ini berarti diperintahkan oleh Tuhan sendiri. Dan perintah Tuhan itu belum pernah dibatalkan.
Ketiga, bahwa persembahan persepuluhan itu bukan beban melainkan identitas umat beriman, sehingga harusnya dilakukan dengan sukacita. Bukan dengan rasa tertekan.
Keempat, persembahan Persepuluhan adalah milik Tuhan dalam keseluruhan berkat yang Tuhan berikan bagi umatNya. Dengan kata lain dalam berkat berkat kita ada bagian Tuhan sendiri yang harus disisihkan.
Kelima, dengan demikian dalam memberikan persembahan Persepuluhan kita harus sadar bahwa kita memberikan apa yang punya Tuhan. Bukan sedang menyumbang atau memperkaya institusi persekutuan orang percaya.
Keenam, jelas bahwa persembahan Persepuluhan itu dibawa ke Rumah Tuhan sebagai representasi persekutuan umat. Dan karena itu tidak ada alasan untuk memberikannya kepada pribadi, yayasan atau lembaga.
Ketujuh, penggunaan persembahan Persepuluhan itu oleh Institusi mestinya berakibat pelayanan yang lebih baik lagi sehingga institusi makin mampu membagikan kasih Allah bagi makin banyak orang.
Kedelapan, adalah salah -bahkan dinilai sebagai upaya menipu Tuhan- kalau orang mengabaikan persembahan persepuluhan. Bahwa ada persembahan lain, itu tidak meniadakan persembahan persepuluhan, sebagai sesuatu yang khusus.
Kesembilan mereka yang memberikan persembahan Persepuluhan, baik sebagai pribadi maupun sebagai persekutuan, diberkati oleh Allah. Namun harus jelas bahwa orang tidak bisa menyogok Tuhan Allah dengan memberikan persembahan persepuluhan.
Kesepuluh persembahan Persepuluhan itu berlaku bagi orang percaya disegala tempat dan segala zaman.
Pergumulan Pergumulan Kontemporer
Pergumulan kontemporer yang umum adalah bagaimana memahami persembahan Persepuluhan begitu rupa sehingga sekalipun kita berada pada era niaga dan sektor jasa, na-mun persembahan persepuluhan sebagai praktek beriman tetap bisa dilaksanakan dengan baik dan benar. Harus dikatakan bahwa secara umum, perkembangan perkembangan membuat kita tertolong. Misalnya saja tentang waktu pemberian persembahan persepuluhan itu. Jelas se-kali bagi dunia Perjanjian Lama, itu diberikan secara tahunan. Ini karena latar-belakang per-tanian dan penggembalaan. Dalam masyarakat seperti itu penghasilan baru akan jelas keli-hatan secara tahunan. Dewasa ini kita tidak lagi harus menunggu setahun, tetapi bisa kita la-kukan setiap bulan. Karena penghasilan kita -kecuali didaerah pertanian tradisional- adalah penghasilan bulanan, maka persembahan Persepuluhan juga harus diberikan setiap bulan. Misal yang lain adalah bahwa -lagi lagi kecuali di daerah pertanian yang sangat tradisional- kita tidak usah lagi membawa persembahan Persepuluhan dalam bentuk hasil pertanian atau peternakan. Kita bisa melakukannya dalam bentuk uang.
Pergumulan kontemporer khas Gerejawi ternyata lebih rumit dari pergumulan kontemporer yang umum. Salah satu contohnya adalah GPIB sendiri[17]. Dalam hubungan ini barangkali kita mau melihat sejumlah -pasti tidak semua- pergumulan khas GPIB tentang persembahan persepuluhan.
Pergumulan awal tentang persembahan persepuluhan ada dua.
Yang pertama adalah apakah persembahan persepuluhan itu masih tetap wajib setelah Perjanjian Baru?. Jawaban tentang hal ini jelas dari penelusuran fakta Alkitabiah yang telah dilakukan diatas tsdi. Bahwa fakta Yesus sebagai putera Yahudi dan Paulus yang banyak menulis surat pastoral tidak pernah membatalkan ataupun mengganti persembahan Persepuluhan. Darah Yesus di Golgota membatalkan korban korban berdarah. Bukan membatalkan persembahan Persepuluhan.
Pergumulan awal yang kedua adalah pertanyaan, apakah ini semacam ‘pajak’ bagi Gereja?. Jelas jawabnya tidak. Perlu diketahui bahwa dikalangan masyarakat seputar Israel sendiri ada yang memang menarik sepersepuluh, bahkan tigapuluh persen dari rakyat mereka. Penarikan ini bukan dari hasil kerja, melainkan dari fakta kekayaan yang nampak. Ada yang ditarik untuk kepentingan Raja, ada yang ditarik untuk kepentingan tentara. Justru dalam Alkitab persepuluhan ditarik oleh Bait Allah yang tidak mempunyai kekuatan duniawi seperti Raja dan tentara. Dalam Alkitab jelas bahwa persembahan persepuluhan diberikan dari hasil kerja atau upah. Tidak diluar hasil kerja atau upah. Persembahan persepuluhan tidak sama dengan pajak kekayaan atau pajak pertambahan hasil. Tapi mengapa ini terus berjalan? Jawabnya, karena persembahan persepuluhan itu membuat persekutuan makin mampu membuat makin banyak orang mengalami belas-kasihan Allah.
Kebiasaan Kebiasaan Yang Salah.
Setelah pergumulan pergumulan awal diatas, muncul berbagai pergumulan yang tak kurang beratnya, yang -untuk sederhannya- kita sebutkan sebagai kebiasaan kebiasaan yang salah. Berikut ini mau dicatat beberapa saja saja dari kebiasaan yang salah itu[18].
- Yang pertama adalah mempersoalkan Persembahan Persepuluhan dalam hubungan dengan PTB. Jawabnya sederhana. PTB itu terjadi karena GPIB belum mampu menerapkan aturan Alkitab yang namanya persepuluhan[19]. Dalam Persidangan Sinode Tahun 2000 GPIB mulai memperhatikan hal persembahan persepuluhan ini[20]. Tapi dalam Persidangan Sinode Istimewa tahun 2004, GPIB makin bertobat dalam arti berusaha sebagai gereja untuk memberlakukan prinsip prinsip Alkitab, termasuk tentang persepuluhan[21]. Persidangan Sinode 2010 memastikan bahwa Persembahan Persepuluhan merupakan komponen utama dalam pembiayaan Gereja[22].
Apakah PTB masih ada?. Jawabnya, masih ada dalam masa transisi. Tapi kita menuju ke persepuluhan. Apakah harus dobbel, PTB dan persepuluhan?, jawabnya tidak perlu. PTB itu aturan GPIB, Persepuluhan itu aturan Tuhan. Sekarang GPIB mengajak seluruh umatnya untuk mematuhi aturan Tuhan. Konkritnya, kalau sekarang kita melaksanakan Persepuluhan apakah kita boleh mengabaikan PTB?. Jawabnya, boleh sekali. Kalau ada yang mau tetap mempersembahkan PTB selain Persembahan Persepuluhan?. Boleh saja. Kalau ada yang mengangkat Persepuluhan, kemudian membaginya atas berbagai macam, termasuk PTB?. Jawabnya ya tidak boleh. Persepuluhan ya persepuluhan. Apakah tidak takut kolekte berkurang? Jawabnya, kalau kolekte berkurang tapi persembahan Persepuluhan bertambah, maka yang akan terjadi adalah saldo tambah. Bukan saldo kurang!.
• Kebiasaan salah yang kedua, sebagaimana disinggung di atas adalah, adanya sejumlah orang yang mengklaim diri sebagai berhak atas persepuluhan, dan tidak mau memberikan persepuluhan. Sedihnya, orang orang ini sering adalah fungsionaris fungsionaris pelayanan Gereja, termasuk lembaga atau yayasan independent yang bergerak dalam bidang yang sama. Ini jelas bertentangan dengan kesaksian Alkitab. Ada sejumlah orang dengan roh materialistik yang mau memanipulasi Firman, khususnya mengenai persepuluhan. Jangan berikan kesempatan kepada orang-orang seperti ini. Kita harus menjaga agar jangan ada fungsionaris pelayanan gereja yang materialistik, dan ingin mengambil keuntungan dari persepuluhan. Tetapi kita juga harus mengingatkan umat agar jangan menjadi pelit kepada Tuhan lalu ‘menipu’ milik-Nya sendiri, yakni hak Tuhan atas persepuluhan. Kalau jelas bahwa Suku Lewipun harus memberikan persembahan Persepuluhan, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa para fungsionaris pelayanan -termasuk pendeta yang hidup dari persembahan umat- tidak bisa membebaskan diri dari ketentuan Persembahan persepuluhan. Kitab Nabi Maleakhi 3:8–10 secara jelas mengatakan, bahwa siapa yang tidak mempersembahkan persepuluhan dia menipu Tuhan. Kalau hidup seorang penipu terus-menerus bermasaalah dan berkekurangan, apalagi seorang penipu Tuhan. Besar kerusakannya.
• Kebiasaan salah ketiga adalah buah dari kebiasaan salah kedua. Orang membawa persembahan persepuluhannya ke alamat yang salah. Kita telah melihat data Alkitab yang persis, bahwa yang menjadi terminal terakhir Persembahan persepuluhan, adalah Rumah Tuhan. Dengan begitu yang dimaksud adalah persekutuan setempat dimana orang beribadah.Dalam tatanan GPIB seorang menjadi anggota Jemaat tertentu dengan wilayah pelayanan tertentu. Dia mempunyai hak dilayani dan kewajiban menopang pelayanan jemaat tersebut. Tidak ada data bahwa seorang dari Hebron memberikan persembahan persepuluhan ke Yerikho misalnya. Karena itu, maka juga tidak benar apabila seorang warga jemaat GPIB di Jakarta, mengirimkan Persembahan persepuluhannya langsung ke GPIB lain di pos pelkes atau ke jemaat di kampung halaman yang memang nyata nyata sedang mengalami kesulitan . Yang benar adalah GPIB tersebut di Jakarta -sebagai persekutuan- membantu GPIB di Pos Pelkes dan Gereja lain di daerah lain juga sebagai persekutuan. Persekutuan yang membantu persekutuan tidak usah berarti mengabaikan persekutuan sendiri. Dengan sendirinya adalah salah apabila memberikan persembahan persepuluhan kepada yayasan, atau juga kepada Pendeta setempat sebagai gembala Jemaat itu.
• Kebiasaan salah keempat adalah angka persepuluhan yang mutlak harus sama. Justru tidak harus sama. Angka persepuluhan bisa fluktuatif, tergantung penghasilan. Disini kadang kadang ‘kedagingan’ masih bermain peranan. Seorang yang biasanya memberikan sekian, merasa ‘tidak-enak’ kalau bulan ini hanya memberi sekian. Pada-hal ternyata perusahannya tutup, dia baru pensiun, panennya gagal dsb. Jangan mera-sa risih kalau penghasilan bulan ini lebih rendah dari bulan lalu. Adalah menyedihkan kalau dalam memberikan persembahan persepuluhan kita mencari kehormatan di mata manusia, sementara di mata Tuhan Allah kita justru butuh pertolongan.
• Kebiasaan salah kelima adalah pemahaman tentang penghasilan yang sepersepuluhnya dipersembahkan. Sebetulnya persembahan persepuluhan adalah hal yang sangat pribadi. Penghasilan adalah penghasilan dan bukan modal kerja. Tegasnya, uang makan dan uang transport baik yang regular maupun karena penugasan khusus, bukanlah penghasilan dan karena itu tidak kena aturan persepuluhan. Mengapa demikian?. Karena modal kerja adalah benih. Bukan hasil. Persepuluhan tidak pernah dipersembahkan dari benih. Persepuluhan dipersembahkan dari hasil. Jadi yang tidak bekerja dengan sendirinya tidak kena aturan tentang hasil. Pensiun adalah bagian dari hasil yang ditabung secara kumulatif. Masalah kita memang menjadi rumit karena kemajuan. Yang pertama ada pekerjaan yang hanya memberikan gaji secara total, tanpa memperhitungkan transportasi, makan siang dsb. Pokoknya, sekian. Kalau ini yang terjadi, maka pribadi yang bersangkutan harus menghitung sendiri berapa penghasilan sesungguhnya. Dengan demikian kita terhindar dari kasus Ananias dan Safira.
Ada pekerjaan yang gajinya diberikan lewat rekening Bank. Jadi tidak ada amplop yang pulang kerumah untuk membuat Ibu rumah tangga membuat perhitungan. Penyelesaiannya sama saja. Hitung, dan jangan menjadi seperti Ananias dan Safira[23]. Tentu saja ada orang yang mengangkat persepuluhan dari keseluruhannya, karena merasa semuanya adalah penghasilan?. Boleh boleh saja.
Ada yang tidak berpenghasilan, tidak memiliki pensiun dan hidup dari bantuan yang diberikan anak anaknya, melakukan hal ini. Perlu jelas, bahwa ini bukan persepuluhan. Ini persembahan sukarela. Dan karena ini bukan upah, dia tidak harus memberikan persembahan persepuluhan. Jadikan saja ini sebagai persembahan syukur dan jangan katakan ini persembahan persepuluhan, adalah dilakukan dengan ketulusan. Dia boleh memberi kurang atau lebih dari sepersepuluh. Inilah kejujuran pribadi yang dilihat Tuhan.
· Kebiasaan salah keenam adalah, sikap masa-bodoh terhadap pemeriksaan yang berdasar dalam pemahaman yang salah tentang Firman. Memang Tuhan Yesus mengatakan bahwa apa yang diberikan dengan tangan kanan, tidak usah diketahui tangan kiri. Ini benar kalau berarti bahwa kita tidak usah mempersoalkan untuk prog-ram yang mana persepuluhan digunakan, sebab ini kesepakatan program pelayanan. Akan tetapi kita wajib mencek apakah persembahan persepuluhan kita memang telah sampai ke perbendaharaan rumah Tuhan. Dan untuk itu, kita harus memeriksanya lewat warta keuangan. Namun kadang kadang terjadi ekstrim yang lain juga. Justru karena kita melihat ketidak-beresan management gereja sebagai institusi lalu kita batal memberikan persembahan Persepuluhan. Jawabannya sederhana. Perbaiki managementnya dan tuntut agar terus terjadi perbaikan. Tapi kalau karena manusianya salah lalu hak Tuhan kita tahan dulu, rasanya kita salah dan tidak logis juga. Lain orang yang melakukan kesalahan, lain orang yang menerima ‘getahnya’.
• Kebiasaan salah ketujuh adalah, penolakan secara mentah-mentah terhadap per-sembahan persepuluhan, karena memang tidak mau. Ada yang karena berpikir bahwa Gereja justru punya banyak uang. Ada yang berpikir bahwa dengan memberi-kan persembahan persepuluhan dia melayani hasrat materialistik institusi. Ada yang memang sayang akan uangnya. Namun ada juga yang menolaknya karena meman-dang dirinya begitu berkekurangan sehingga dia yang justru perlu dibantu. Orang se-perti ini membutuhkan sejumlah pengalaman dari Tuhan untuk lebih beriman. Sebab ini bukan soal kaya-miskin. Ini soal ketaatan. Catatan kecil yang Tuhan Yesus beri-kan tentang janda miskin sangat menarik perhatian. Seorang janda, yang justru di bela oleh institusi Bait Allah, tetap memberikan persembahan. Tuhan ingin kita jujur diha-dapan-Nya. Penerima bantuan diakoni tidak bebas dari persembahan persepuluhan.
• Kebiasaan salah yang kedelapan yang menyangkut hampir seluruh umat adalah pada satu sisi pengabaian terhadap penilaian kinerja fungsionaris pelayanan, dan pada sisi yang lain, pengabaian terhadap program pelayanan itu sendiri. Suatu proses introspeksi diri yang serius dibutuhkan baik pada pribadi, mekanisme kerja, maupun beban program yang harus dilayani. Dengan demikian, persembahan umat mencapai maksudnya. Harap jelas bahwa kita bukan hanya menangani persembahan orang. Kita juga menangani ‘doa’ orang sejajar dengan persembahan itu.
Persembahan Persepuluhan Dalam Keputusan Gerejawi.
Apa yang diuraikan diatas adalah apa yang harus kita laksanakan sebagai pribadi orang beriman. Nyatanya sebagai orang beriman, kita bukan hanya ada dalam persekutuan sebagai Jemaat, melainkan kita juga ada dalam persekutuan sebagai Gereja. Di GPIB pada PS tahun 2010 jelas diputuskan bahwa Persembahan Persepuluhan merupakan kekuatan utama bila kita mempersoalkan Sumber Ekonomi Gereja. Sumber Ekonomi Gereja yang berbasis di Jemaat[24] ini harus jelas lebih dahulu, kalau kita mau melakukan Pembangunan Ekonomi Gereja. GPIB telah memutuskan satu hal penting dalam hal kewajiban Persepuluhan, yakni bahwa dari keseluruhan pendapatan Jemaat setiap bulan, sepersepuluh daripadanya diberikan kepada Majelis Sinode. Persoalannya adalah bagaimana GPIB tiba pada keputusan seperti ini.
1. Jejak Sejarah
Kita sama mengetahui bahwa ketika GPIB dibentuk pada tahun 1948 para pendeta dan karyawan Gereja semuanya mendapat gaji dari pemerintah Belanda. Gereja pada waktu itu adalah ‘Gereja-Negara’. Dalam sistim yang seperti ini tanggung jawab warga Gereja di bidang ekonomi Gereja teramat sangat minim, karena apa yang dibutuhkan disediakan dalam anggaran negara. Tradisi Gereja dibiayai negara ini berlaku sekitar 300 tahun!. Hasilnya adalah terbentuk suatu sikap mental yang hanya ‘menerima’ atau ‘menandahkan tangan’ kepada pemerintah. Tentu saja pemerintah tidak menggaji para fungsionaris Gereja secara gratis. Gereja jadinya harus mengikuti dan membela policy pemerintah. Gereja jadi tidak kritis terhadap pemerintah, dan karenanya diperalat oleh kolonialisme dan imperialisme. Karena itu sesungguhnya missi Gereja tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan. Bayangkanlah bahwa setelah lebih dari 300 tahun berada dalam sistim ini, jumlah orang Kristen di Indonesia kurang dari sepuluh persen. Kalau disatukan dengan agama agama lain non muslim baru mencapai sekitar sepuluh persen.
Tahun 1950 -jadi dua tahun setelah GPIB dibentuk- terjadi penyerahan kedaulatan. Dan berakhirlah era Gereja Negara. Sejak saat ini, Gereja tidak lagi dibiayai oleh negara. Gereja harus membiayai dirinya sendiri. Ada pelayanan diakonis, ada pendidikan, ada rumah sakit, bahkan gaji rutin yang harus dibayar. Sementara selama 300 tahun yang terbentuk adalah sikap mental ‘meminta’ atau ‘menadahkan tangan’. Memang di Belanda sendiri, masih ada lembaga dan yayasan yang membantu Gereja berdasarkan tanggung jawab moral bahwa Gereja Gereja ini hasil zending Belanda. Jadi ada semacam ‘Mother Church’ yang menolong dalam banyak keperluan. Akan tetapi pasti bantuan itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan ketika Gereja menjadi Gereja negara.
Situasi GPIB jauh berbeda. GPIB tidak dibentuk oleh Indische Kerk yang Gereja Negara itu. GPIB dibentuk oleh tiga Gereja Indonesia sendiri, yakni GMIM, GPM dan GMIT. Jadi Mother Church dari GPIB adalah ketiga Gereja ini. Bukan salah satu Gereja di Belanda. Masing masing dari ketiga Gereja tadi mempunyai semacam ‘mother Church di negeri Belanda. Tapi GPIB tidak mempunyainya. Maka ketika penyerahan kedaulatan, GPIB dengan luas wilayah lebih dari separuh Indonesia, langsung mengalami masalah yang berhubungan dengan keuangan. Masalah ini kemudian berakibat pada pelaksanaan missi Gereja. Padahal GPIB tidak punya kemungkinan untuk menadahkan tangan ke negeri Belanda.
2. Pengembangan Potensi Daya dan Dana
Jejak sejarah yang diutarakan diatas mengatakan bagi kita bahwa GPIB mengalami problema keuangan yang serius. Pertanyaannya adalah bagaimana memecahkan masalah keuangan ini. Tentu saja yang pertama menjadi jawabannya adalah kantong persembahan. Akan tetapi kantong persembahan itu jauh dari cukup. Mentalitas ‘menadahkan tangan’ membuat orang sulit dalam memberi. Penampilan Gereja Negara membuat orang berpikir Gereja kaya dan para pelayan Gereja kaya. Ini semua membuat ‘motivasi memberi’ sangat rendah.
Pemecahan kedua yang dilakukan oleh GPIB adalah ‘iuran’. Iuran ini dalam perjalanannya mencatat variasi yang menarik juga. Yang pertama sekali diberlakukan semacam iuran anggota yang tidak jelas kriterianya. Kemudian diberlakukan semacam iuran keluarga, menurut jumlah kepala keluarga. Tahun 1970an mulai semacam iuran anggota sidi jemaat. Tahun 1990an diberlakukan Persembahan Tetap Bulanan yang kita semua kenal. Tahun 1970an pemecahan ketiga diberlakukan yaitu sumbangan sumbangan lain yang tidak mengikat. Masih para parohan kedua tahun 1970an pemecahan keempat dilakukan, yaitu pemanfaatan harta milik yang tidak bergerak. Kita bisa melihat bagaimana GPIB menggarap semua peluang yang ada untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan Gereja. Akan tetapi ternyata semuanya tidak maksimal. Sebab sesungguhnya sumber pembiayaan Gereja harus berbasis pada warga jemaat. Selama sikap mental warga jemaat hanya ‘menadahkan tangan’ maka kemampuan untuk bertanggung jawab secara keuangan akan tetap rendah. Dibutuhkan suatu perobahan sikap mental dari ‘menerima’ jadi ‘memberi’. Tanpa pembaharuan sikap mental seperti ini GPIB akan tetap bermasalah dengan pelayanannya, karena ketiadaan biaya.
Pelayanan GPIB sendiri berkembang dengan pesat. Dari 50an Jemaat saat didirikan, dalam kurun waktu sekitar 62 tahun berkembang menjadi 300an dengan Pos pelayanan dan kesaksian yang potensial di masa depan biasa menjadi jemaat mandiri sekitar 300an. Ketika GPIB berada di kota dan di desa, maka keberadaan itu berarti pelayanan dan pelayanan itu memerlukan pembiayaan.
Sekitar tahun 1980an GPIB memutuskan untuk mandiri dalam tiga hal. Mandiri dalam Teologi, mandiri dalam Dana dan mandiri dalam Daya. Upaya kemandirian Teologi dilakukan mlalui pengkajian teologis terhadap berbagai hal yang dihadapi Gereja, termasuk soal Daya dan Dana. Pengkajian teologis itu menyimpulkan bahwa untuk menuju kemandirian, harus dilakukan pembinaan dan pengembangan sumber daya insani. Termasuk dalam hal ini adalah pembinaan tentang tanggung jawab terhadap pelayanan dan kesaksian Gereja. Soal tanggung jawab terhadap pelayanan dan kesaksian Gereja ini bukan hanya moril, tetapi juga materil. Dalam rangka tanggung jawab materil inilah GPIB mulai tahun 2000 berbicara tentang Persembahan Persepuluhan. Tahun 2005 pikiran ini dimatangkan, dan tahun 2010, soal Persembahan Persepuluhan diputuskan untuk dilaksanakan. Jadi jelas sekali bahwa pelaksanaan Persembahan Persepuluhan mengalami proses dalam kehidupan berjemaat dan diberlakukan secara sinodal melalui Keputusan Persidangan Sinode GPIB.
3. Mandiri Melalui Pelayanan dan Kesaksian
Gumulan teologis tentang Persembahan Persepuluhan menunjukkan satu ciri penting. Bahwa Persembahan Persepuluhan bukanlah sekedar upaya untuk mengisi Kas Jemaat. Persembahan Persepuluhan di GPIB adalah akta iman. Ini jelas terlihat dalam proses keputusan Gerejawi. Ketika GPIB memutuskan untuk memberlakukan Persembahan Persepuluhan, maka kajian teologisnya dilakukan selama sepuluh tahun. Selama sepuluh tahun pula proses ini dihayati oleh sebagian warga jemaat. Maka ketika GPIB tiba pada keputusan untuk melaksanakannya sejumlah hal menjadi sangat jelas. Siapa yang memberikan Persembahan Persepuluhan, kemana Persembahan Persepuluhan itu harus diberikan, kapan Persembahan Persepuluhan itu diberikan, semuanya jelas. Maka pelaksanaan Persembahan Persepuluhan adalah hal yang Alkitabiah, tetapi sekaliguis merupakan tantangan iman. Sebab justru melalui Persembahan Persepuluhan inilah gereja bisa melaksanakan pelayanan dan kesaksiannya secara lebih baik. Jadi -sekali lagi- bukan untuk mengisi Kas jemaat atau Gereja sebagai organisasi. Persembahan Persepuluhan adalah pengucapan syukur dan pelayanan atas hak Tuhan yang ada dalam berkat yang kita terima. Jadi ini tantang- jawab iman. Persembahan Persepuluhan bukanlah iuran organisasi.
Persembahan Persepuluhan akan membuat Gereja mandiri dalam melaksanakan Pelayanan dan Kesaksiannya. Persembahan Persepuluhan bukan hanya membuat Gereja tidak tergantung pada bantuan pemerintah, melainkan justru Gereja membantu Pemerintah lewat program dan kegiatan yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat. Dan hal ini justru merupakan keprihatinan dan keputusan sinodal yang berlaku baik pada tingkat jemaat maupun dalam lingkup sinodal.
4. Persembahan Persepuluhan Bagi Pelaksanaan Aktivitas Sinodal.
Kita baru separuh jalan, kalau kita hanya berbicara tentang kewajiban Persembahan persepuluhan sebagai sesuatu yang Alkitabiah. Persidangan Sinode XIX dalam rangka pemahaman tentang Persembahan Persepuluhan juga memutuskan bahwa sepersepuluh dari semua persembahan di jemaat diberikan kepada Majelis Sinode. Ini sebuah langkah spiritual yang maju. Sebelum ini yang diberlakukan adalah adanya Persembahan Tetap Bulanan (PTB) dan Sepersepuluh dari saldo akhir tahun anggaran yang dikirimkan kepada Majelis Sinode. Persidangan Sinode XIX memutuskan PTB dihapuskan juga sepersepuluh dari saldo akhir tahun anggaran dihapus dan diganti dengan sepersepuluh dari semua persembahan dalam Jemaat setiap bulan. Untuk memahami hal ini kita harus memahami kembali secara teologis, ekklesiologi kita.
a. Pemahaman tentang Tubuh Kristus.
Dalam Teologia Reformatoris, khususnya Calvin[25] pemahaman tentang Gereja yang Presbiterial Sinodal kita memahami Gereja sebagai Tubuh Kristus dalam dua bentuk seperti dua titik api pada sebuah elips[26].
Bentuk yang pertama adalah Jemaat. Jemaat memilih Majelis Jemaat. Majelis Jemaat ini bersidang untuk memutuskan hal hal dan langkah pelayanan ndan kesaksian Jemaat. Ini yang kita kenal sebagai Sidang Majelis Jemaat. Pelaksana Harian Majelis Jemaat adalah anggota Majelis Jemaat yang dipilih dalam sidang Majelis Jemaat untuk menjadi pelaksana dari keputusan Sidang Majelis Jemaat. Jadi, Pelaksana Harian Majelis Jemaat adalah alat tubuh Kristus dalam melaksanakan pelayanan dan kesaksian pada jangkauan wilayah pelayanan jemaat. Secara praktis-operasional Pelaksana Harian yang mengelola persembahan -termasuk persembahan persepuluhan- sesuai dengan Rencana Kerja dan Anggaran dalam jangkauan jemaat yang ditetapkan Sidang Majelis Jemaat. Tanpa persembahan umat, PHMJ tidak bisa melaksanakan tugasnya.
Bentuk yang kedua adalah Persidangan Sinode. Kita mempunyai Persidangan Sinode Tahunan sebagai wadah untuk memutuskan kebijakan Tahunan secara Sinodal. Majelis Sinode yang dipilih di Persidangan Sinode adalah pelaksana keputusan Persidangan Sinode. Karena itu Majelis Sinode juga menjadi pelaksana keputusan Persidangan Sinode Tahunan. Jadi Majelis Sinode adalah alat tubuh Kristus dalam melaksanakan pelayanan dan kesaksian pada jangkauan wilayah pelayanan jemaat. Secara praktis-operasional Majelis Sinode yang mengelola persembahan dari jemaat jemaat sesuai dengan Rencana Kerja dan Anggaran dalam jangkauan Sinodal yang ditetapkan Persidangan Sinode. Tanpa persembahan Jemaat, Majelis Sinode tidak bisa melaksanakan tugasnya.
b. Persembahan Persepuluhan Dari Jemaat Kepada Majelis Sinode
Kalau pemahaman tentang Gereja dalam teologia reformatoris sebagaimana dikatakan diatas jelas bagi kita, maka jelas juga bagi kita bahwa sepersepuluh dari seluruh pendapatan jemaat selama satu bulan, -termasuk persembahan persepuluhan- diberikan dari Jemaat kepada Majelis Sinode. Jadi pemberian Persembahan Persepuluhan setiap bulan datri setiap Jemaat kepada Majelis Sinode dalam rangka penugasan Majelis Sinode sebagai alat dalam Tubuh Kristus yang bernama Persidangan Sinode, adalah keniscayaan ekklesiologi kita. Ekklesiologi itu melihat Jemaat dan Persidangan Sinode sebagai bentuk tubuh Kristus. Ekklesiologi itu mengambil bentuk elips dengan dua titik api. Ekklesiologi itu menempatkan Pelaksana Harian Majelis Jemaat dan Majelis Sinode pada posisi Pelaksana kehendak Tubuh Kristus. Ekklesiologi itu menempatkan Pelaksana Harian Majelis Jemaat secara organisatoris Gerejawi sebagai penerima dan pengelola Persembahan Persepuluhan dari para umat. Maka Ekklesiologi yang sama juga menempatkan Majelis Sinode secara organisatoris gerejawi sebagai penerima dan pengelola Persembahan Persepuluhan dari para Jemaat.
5. Manajemen Berbasis Pengharapan
Perbedaan antara mengelola dan memimpin adalah bahwa pengelola bergiat atas modal dasar yang telah ada. Pemimpin harus lebih dahulu mengupayakan modal dasar itu. Karenanya pemimpin pastilah pengelola, tetapi sekedar pengelola belum tentu mampu menjadi pemimpin. Persembahan Tetap Bulanan (PTB) memang lebih aman bagi sistim manajemen. Sebab pemasukan bisa diprediksi secara hampir akurat, dan sangat menggampangkan pengelolaan. Persembahan Persepuluhan kurang aman bagi sistim manajemen. Sebab persembahan persepuluhan sangat mungkin fluktuatif, dan karenanya tidak bisa diprediksikan secara akurat. Pengelolaan dengan mengandalkan Persembahan Persepuluhan sebagai tulang punggung ekonomi Gereja mempertaruhkan iman, khususnya pengharapan. Pelaksana pengelolaan, baik pada tingkat jemaat maupun tingkat sinodal akan mempertaruhkan diri sungguh sungguh pada berkat Tuhan. Tapi karena berkat itu ‘mengalir’ ke arah pelaksana pengelola, maka yang menjadi pokok doa pengelola di jemaat, -dalam hal ini PHMJ- adalah warga jemaat. Sebab berkat Tuhan bagi warga jemaat akan menghadirkan Persembahan Persepuluhan sebagai tulang punggung ekonomi jemaat. Yang menjadi pokok doa Majelis Sinode adalah jemaat jemaat. Sebab berkat Tuhan bagi jemaat jemaat akan menghadirkan persembahan persepuluhan sebagai tuilang punggung ekonomi Gereja secara sinodal. Kita bisa menyimpulkan dengan mengatakan bahwa pelaksanaan dan pengelolaan keuangan gereja dengan berbasis Persembahan Persepuluhan akan membuat Gereja makin matang secara spiritual.
Pertanyaan Praktis Kontemporer.
Ø Seorang teman yang telah lama tidak bersua memberikan saya sejumlah uang. Apakah dari pemberian itu saya harus mempersembahkan persepuluhan?
Tidak perlu!. Kalau anda berikan maka itu persembahan sukarela. Sebab pertanyaan pokoknya adalah apakah pemberian itu adalah suatu upah?. Kan tidak ada yang dikerjakan oleh anda ketika menerima uang itu. Berapa yang anda akan persembahkan, itu sukarela. Bahkan kalau dia berikan satu milyar pun, tidak ada kewajiban memberikan sepersepuluh daripadanya.
Ø Saya punya penghasilan tetap. Tapi saya sering mendapat tip. Apakah dari tip itu perlu juga saya memberikan persembahan persepuluhan?
Iya!. Tip itu kan berhubungan dengan apa yang kita kerjakan. Tip sesungguhnya adalah upah juga. Hanya karena tip, maka jumlahnya tidak pernah pasti. Tapi karena itu didapat berhubungan dengan pekerjaan sebagai bagian dari upah, maka daripadanya harus dipersembahkan persepuluhan.
Ø Saya punya pekerjaan tetap. Tetapi sering juga ,ngobyek’ diluar. Apakah dari hasil ngobyek ini perlu dipersembahkan persepuluhan?
Iya!. Ngobyek kan usaha. Cuma usaha itu berbeda dari yang rutin. Ngobyek itu terkadang berhasil, terkadang tidak berhasil. Itu bukti bahwa ngobyek itu usaha. Jadi daripadanya perlu dipersembahkan persepuluhan.
Ø Saya menjual rumah, karena rumah saya kebesaran. Saya ingin memberi rumah yang lebih kecil, sisanya akan saya pakai usaha, atau mungkin disimpan di bank. Nanti saya hidup dari bunganya. Apakah saya harus mempersembahkan persepuluhan?.
Tidak!. Anda tidak harus mempersembahkan persepuluhan dari hasil menjual rumah. Kalau anda persembahkan, itu persembahan sukarela, dan tidak harus sepersepuluh. Lain halnya kalau anda ‘berjualan rumah’. Itu artinya kerja anda adalah menjual rumah. Hasil penjualan rumah itu statusnya sebagai ‘benih’ dan bukan sebagai panen. Kalau anda pengemban perumahan, nah itu baru panen. Tapi ada satu hal lagi yang perlu diperhatikan agar jangan luput dari catatan kita. Kalau anda menyimpan uang di bank, maka dari bunganya anda harus mempersembahkan persepuluhan. Kenapa, karena anda menyuruh uang anda ‘bekerja’ ketika menyimpannya di bank. Kejujuran seperti ini diperlukan agar kita tidak salah kaprah.
Ø Saya pensiunan. Jadi tidak bekerja lagi. Apakah dari uan pensiun yang saya terima saya harus mempersembahkan persepuluhan?
Pensiun itu didapat karena kerja. Bukan soal dulu atau sekarang. Jadi para pensiunanpun mempersembahkan persembahan persepuluhan.
Ø Tidakkah persembahan persepuluhan ini sedang dilansir untuk kenaikan gaji pendeta?
Tidak samasekali!. Di GPIB ada peraturan gaji pendeta yang jelas. Sekalipun kas jemaatnya 10 milyar, kalau menurut peraturan gaji pendetanya 3 juta, ya tiga juta saja. Sekalipun saldo kas Jemaat lima ratus ribu, tapi gaji pendeta satu setengah juta, ya satu setengah juta. Ada subsidi silang yang diatur oleh Majelis Sinode sebagai pimpinan organisasi untuk hal ini. Dan uang yang disubsidi itu didapat dari persembahan jemaat ke Majelis Sinode. Kalau aturan internalnya mengatakan transport PHM sebulan limapuluh ribu, maka sekalipun saldo kas limapuluh juta dan rapat PHM sekali seminggu atau limakali seminggu, ya tetap saja limapuluh ribu. Kalau transport rapat Sidang Majelis Jemaat seorang sepuluh ribu, ya selesai rapat tanda tangani presensi, dan menerima sepuluh ribu. Aturan GPIB sangat jelas tentang hal ini.
Ø Apakah uang hasil korupsi bisa dipakai untuk persembahan?
Lho; yang tahu itu uang korupsi atau tidak kan bukan gereja. Tapi yang berasangkutan. Kalau yang bersangkutan mengatakan kepada fungsionaris pelayanan -utamanya pendeta- maka fungsionaris pelayanan harus menasihati anda untuk jangan korupsi, mengembalikan uang korupsi dan dengan sendirinya tidak perlu dipersembahkan. Jangan juga karena silau akan jumlah uang maka Gereja mengabaikan korupsi. Kalau ini yang terjadi maka tidak mustahil kalau kelak juga terjadi korupsi secara internal. Sulitnya belum pernah ada persembahan, baik itu persembahan syukur maupun persepuluhan yang diberikan dengan catatan khusus : ini hasil korupsi.
Lain hasil korupsi dengan hasil dagang. Kalau perdagangan, ada hukum permintaan dan penawaran. Seorang pedagang yang menaikkan harga sepuluh kali lipat karena barang dagangannya langka, tidak sedang korupsi. Dia sedang berdagang. Ini mesti jelas. Kalau tidak semua pedagang kita akan bangkrut.
Ø Kalau begitu selama ini kami salah. Apa saran bapak untuk jemaat sekaligus fungsionaris pelayanan?.
Pertama, rasanya terlalu dini untuk kita mengatakan salah. Ini kan selama ini kita belum mengerti secara benar. Lha orang yang tidak mengerti, itu diajar. Bukan disalahkan. Jadi jangan menyalahkan diri. Yang jadi soal adalah sekarang kita sudah tahu, mari kita mulai melaksanakan. Kalau sudah tahu tidak melaksanakan, baru salah namanya. Ini bukan penghiburan palsu. Ini kejujuran dan ketulusan.
Kedua, persembahan persepuluhan dari hasil kerja adalah kewajiban Alkitabiah. Baik warga jemaat maupun fungsionaris pelayanan wajib memberlakukannya. Jangan karena menjadi fungsionaris pelayanan, lalu tidak memberikan persembahan persepuluhan, apalagi pendeta yang harus menjadi contoh.
Ketiga, baik warga jemaat terlebih para fungsionaris harus sungguh sungguh mengerti persepuluhan. Supaya tidak ada persepuluhan-fobia dan tidak ada juga persepuluhan-mania. Yang dimaksudkan dengan persepuluhan-fobia adalah anti-persepuluhan. Biasanya orang yang mencintai materi yang melakukan hal ini, dengan berbagai alasan yang mengada ada. Yang dimaksudkan dengan persepuluhan-mania adalah dari apapun ditagih persembahan persepuluhan. Kalau ini yang terjadi maka persepuluhan merupakan pajak kekayaan dan bukan lagi persembahan. Orang yang tinggal di rumah dinas yang bagus dengan menggunakan mobil dinas yang bagus lalu daripadanya kita harapkan atau kita tagih persepuluhan yang ‘bagus’ kita melakukan kekeliruan. Yang wajar saja. Kalau itu dari hasil usaha, namanya persembahan persepuluhan. Kalau bukan dari hasil usaha, namanya persembahan syukur atau persembahan sukarela. Anak muda yang masih kuliah, dengan pembiayaan yang berkecukupan dari orang tuanya yang kaya, tidak usah mempersembahkan persepuluhan. Dia kan masih belum bekerja. Kalau dia bekerja lain soalnya.
Keempat saran yang agak administratip dalam rangka transparansi. Persembahan persepuluhan selalu dikhususkan. Karena itu warga yng mempersembahkannya perlu menyampaikannya secara khusus. Misalnya dalam amplop tertutup dengan inisial atau nama yang jelas. Majelis Jemaat perlu mempersiapkan kotak khusus, atau kantong khusus untuk persembahan persepuluhan. Mencampurnya dengan kolekte rutin sama dengan mencampur persembahan persepuluhan dengan persembahan sukarela. Ini tidak menolong transparansi pengumuman di warta Jemaat.
Kelima, mari kita lakukan sekarang. Catatan catatan berikut baru akan dibuat setelah kita selesai melakukannya. Sebab pembahasan berikut akan diberikan kalau disempurnakan oleh catatan demi catatan dari jemaat ke jemaat.
Ø Tidakkah tekanan pada Persembahan Persepuluhan ini mengembalikan tradisi Yudaisme PL kedalam Gereja yang mulai dari PB?
Yang pertama harus dikatakan bahwa secara teologis, khususnya dari sudut ekklesiologi adalah keliru kalau dikatakan bahwa Gereja mulai dengan PB. Ini pola pikir yang menekankan diskontinuitas antara PL dan PB. Padahal ada kontinuitas dan diskontinuitasnya. Akan makan waktu untuk menerangkan hal ini. Tapi ringkasnya begini : Sejauh Gereja memandang disi sebagai ‘Israel Rohani’ maka kita tidak bisa mengatakan bahwa Gereja (hanya) mulai dengan PB. Dengan landasan berpikir yang seperti ini jelas bahwa kita tidak menjadi Yudais dengan memberlakukan Persembahan Persepuluhan. Lagi pula aneh, kalau persepuluhan dilihat sebagai hal yang Yudais. Mengapa bukan sunat misalnya. Mengapa sunat masakini diperbolehkan dan diinterpertasikan kembali, dan mengapa Persepuluhan justru ditentang?. Ini pasti karena memang harus menentang. Bagi kita Persepuluhan adalah akta iman. Bukan soal debat teologi yang berasal dari like and dislike dan berujung pada menerima dan menolak. Bukan cara demikian kita bicara tentang hak Tuhan Allah.
Ø Sekarang ada Persepuluhan. Nanti bisa ada persejutaan atau perseribuan ?
Nah... kalau itu terjadi, baru namanya mengada ada. Karena tidak ada data Alkitabnya. Mari kita ingat bahwa Persembahan Persepuluhan menjadi tekanan bukan untuk mengisi kas Gereja. Kalau ini yang terjadi maka itu namanya mengada ada dan fakta Alkitabiah jadi sesuatu yang ‘kebetulan’ bisa dimanfaatkan. Kalau Persepuluhan menjadi akta iman, maka urusan mengisi kas jemaat dan urusan ekonomi Gereja justru datang kemudian sebagai ahl tekhnis. Bukan sesuatu yang prinsipal.
Ø Untuk hal khusus apa sajakah Persembahan Persepuluhan digunakan?.
Kalau kita membaca Alkitab, khususnya Perjanjian Lama sebagaimana yang telah dikutip diatas kita tahu bahwa Persembahan Persepuluhan itu menjamin persediaan di Rumah Tuhan atau di Bait Suci. Di Israel lembaga Bait Suci ini mengurus orang susah, orang berkekurangan dan orang yang membutuhkan pembelaan. Jadi Persembahan Persepuluhan tidak boleh ditumpuk untuk kemudian menjadikan lembaga Bait Suci sebuah unit kapitalis dalam masyarakat. Sekarang masalah kita di Gereja. Seluruh soal yang muncul bagi lembaga Bait Suci dalam Perjanjian Lama dan Gereja Lama, daalm gereja modern kita lihat sebagai soal ‘pelayanan dan kesaksian’ atau yang lazim kita sebut pelkes. Dalam bahasa aslinya untuk Diakonia dan Marturia. Jadi gereja hadir sebagai persekutuan (koinonia) untuk melaksanakan pelayanan (diakonia) dan kesaksian (marturia). Masalahnya adalah bagaimana pendekatan strategis gereja. Menunggu sampai orang sengsara baru menolong, ataukah melakukan sesuatu untuk mencegah orang jatuh dalam kesengsaraan. Pelkes harus dilihat dalam kerangka ini. Sistimatikanya dalam rencana kerja dan anggaran adalah membagi habis semua kegiatan dalam pool entah pelayanan, entah kesaksian. Secara praktis bagaimana menentukan kegiatan kegiatan yang bersifat lintas bidang dan kalau perlu memang melihat semua kegiatan dalam pembidangan. Itulah yang mestinya terjadi.
Ø Dalam kenyataannya ada tiga kantong persembahan, ada kantong khusus, ada kotak ini dan kotak itu. Maaf kalau sudah mempersembahkan Persepuluhan, rasanya kebanyakan kotak dan kantong ini mengganggu. Bagaimana ini?
Yang pertama lewat departemen teologi, Tata Ibadah yang diputuskan dalam PS XIX mengatakan bahwa kantong persembahan hanya satu. Bukan tiga seperti sekarang ini. Jadi kedepan yang akan terjadi hanya satu kotak persembahan persepuluhan dan satu kantong. Pertanyaannya kalau gempa adakah kantong khusus? Harus dijawab dengan pertanyaan lagi. Bukankah bantuan gempa adalah tindakan diakonis?. Atau kalau lagi membangun Gereja. Bukankah ada kantong khusus?. Pertanyaannya dijawab dengan pertanyaan lagi. Bukankah membangun Gereja adalah tindakan kesaksian (Marturia?). Jelasnya begini. Kalau kita tidak memberlakukan Persepuluhan akan ada banyak sekali kantong. Kalau kita memberlakukan persepuluhan maka hanya ada satu kotak perseembahan persepuluhan dan satu kantong.
revestehaka.-
[1] Istilah penggembala digunakan disini untuk membedakannya dari peternakan modern, dimana ternak ditempatkan ditempat yang tetap, tidak berpindah pindah. Dalam fase penggembala, tenaknya berpindah pindah mengikuti gembala yang mencarikan rumput dan air untuk ternak gembalaan.
[2] Dan Brown, penulis novel The DaVinci Code yang terkenal itu mengeksplorasi fakta antropologis ini untuk mengatakan bahwa model penyembahan sekarang yang berorientasi ‘ke atas’ adalah penyimpangan. Penyembahan harus dikembalikan ke bawah. Dari sini dia memanfaatkan euphoria feminisme dan menuduh agama sekarang merupakan semacam penjajahan kaum maskulin. Ujung ujungnya yang harus disembah -menurut Brown- adalah Maria Magdalena dan bukan Yesus.
[3] Istilah dalam bahasa Indonesia ‘menyisihkan’ dari kata dasar sisih dan ‘menyisakan’ dari kata dasar sisa, sangat menolong kita untuk mengerti makna persembahan.
[4] Lihat Kej 4 : 3 – 10 bd. Ibr. 11 : 4
[6] Lihat : Beyer Ulrich dan Simamora Evelina : ‘Memberi Dengan Sukacita’ : Tafsir dan Teologi Persembahan. Jakarta BPK 2008.
[7] Urutan surat dalam Alkitab yang digunakan disini adalah sebagaimana yang digunakan Gereja. Argumentasi akademis tentang tua-muda nya naskah asli sengaja tidak diperhitungkan.
[8] Penulis Surat Ibrani menuliskan suratnya kepada orang Kristen yang berlatar-belakang Yahudi dan karena itu pasti menggunakan latar belakang keyahudian, yang sekaligus berarti hubungan erat dengan Ibadah Israel juga.
[9] Yesus menegur mereka karena mereka mengabaikan kasih, dan menggunakan hal persem-bahan persembahan mereka -termasuk persepuluhan- sebagai semacam hak untuk menjadi sombong-rohani dihadapan Allah. Tapi ini sama sekali tidak berarti bahwa Yesus tidak bersetuju dengan per-sembahan persepuluhan. Kita malahan harus mengatakan bahwa sebagai putera Yahudi yang taat, Yesus pasti mempersembahkan persembahan persembahan, termasuk persembahan persepuluhan.
[10] Disini Paulus bicara tentang hak dan kewajiban Rasul. Khusus dalam ay 13 Paulus menunjuk pa-da hak dan kewajiban suku Lewi yang ditopang oleh persembahan -termasuk persembahan persepuluhan- umat, namun Paulus sendiri menolak menggunakan hal itu.
[11] Paulus menganjurkan agar pada hari pertama tiap minggu pengumpulan uang bagi orang kudus dilaksanakan sesuai dengan perolehan umat. Persembahan itu harus disisihkan secara sengaja. Ini menun-juk secara jelas kepada Persembahan Persepuluhan.
[12] Disini Paulus mengajak orang Korintus agar meniru iman orang Makedonia, yang sekalipun ber-ada dalam kesulitan, tetap melaksanakan tugas iman mereka dalam bentuk persembahan. Tentu saja di-dalamnya termasuk persembahan persepuluhan.
[13] Kembali anjuran untuk membantu mereka yang memberikan ajaran dengan jalan membagikan kepada pengajar, apa yang ada pada yang diajar. Kembali kita melihat tugas dan peranan persembahan persepuluhan disini.
[14] Sama dengan Gal 6/6, hanya disini dikatakan secara lebih eksplisit, malahan para pengajar adalah penatua.
[15] . Kebiasaan konkordatif yang dimaksudkan adalah memeriksa kedalam konkordansi, apakah ada kata yang berhubungan dengan permasalahan secara eksplisit dalam ayat Alkitab. Kalau tidak ada, maka dianggap bahwa Alkitab tidak mempersoalkannya. Dalam pendekatan holistic, dimana semua hal di pertimbangkan, tafsiran Alkitab menjadi lebih dekat pada aslinya.
[16] Dalam pengalaman kekristenan, terjadi ketegangan antara mereka yang meniru apa yang terjadi dengan Yesus, apa yang dilakukan Yesus, dan apa yang diperintahkan Yesus. Argumentasi teologi selalu memeriksa secara holistik dari berbagai bidang, dan baru membuat kesimpulan, agar terhindar dari ekstrimitas yang ceroboh.
[17] Dalam tradisi berpikir GPIB, kita terbiasa mengikuti disiplin Alkitab - Sejarah Gereja - Praktek GPIB - Pergumulan kontemporer. Khusus untuk praktek Persepuluhan sepanjang Sejarah Gereja, makalah ini belum menyempurnakannya, karena diperlukan penelitian tentang itu. Yang bisa kita katakan sekarang adalah Calvin misalnya tidak menolak praktek Persembahan persepuluhan, juga tidak secara khusus membicarakannya. Martin Luther juga demikian . Kalau Katekismus Besar jadi acuan untuk meneliti Luther -disamping banyak ‘table talk’- kita tidak menemukan uraian khusus tentang Persepuluhan. Dalam Institutio, Calvin hanya menggunakan Persepuluhan sebagai contoh tentang janji yang harus dipenuhi. Paling tidak ini berarti bahwa Calvin tidak melarang Persembahan Persepuluhan. Lihat: Calvin : Institutes Of The Christian Religion 4-13-4 (pp 1258 – 1259). Penelitian lanjutan tentang hal ini harus diteruskan mengingat kenyataan bahwa Gereja Gereja bukan ,main stream’ merupakan Gereja gereja yang menekankan Persepuluhan yang oleh sebagian orang dikaitkan dengan tekanan ke PL sebagai hasil dari tekanan kepada Roh Kudus yang oleh sebagian orang dikaitkan dengan tekanan pada PB. .
[18] Khusus mengenai inventarisasi kebiasaan yang salah ini, dirangkum dari berbagai pertanyaan lewat rubrik dalam Warta Jemaat. Karena itu inventarisasi ini bisa berubah dari jemaat ke Jemaat, entah bertambah, entah berkurang.
[19] GPIB sendiri punya sejarah yang unik khusus mengenai sumber pembiayaan gereja. Ketika dibentuk pada tahun 1948, GPIB masih mengalami era ‘gereja negara’. Pengakuan kedaulatan RI pada akhir 1949 membuat Gereja harus membiayai diri sendiri sejak tahun 1950. Maka ada proses iuran anggota, kemudian iuran anggota sidi, dan terakhir PTB yang asumsinya adalah keluarga dan bukan pribadi. GPIB ‘tiba kembali’ pada keputusan pemberlakuan Persembahan Persepuluhan yang asumsinya adalah tiap orang yang menerima upah kerja sebagaimana dikatakan Alkitab, setelah 62 tahun bergumul.
[20] Lihat buku Ketetapan PS XVII hal 98
[21] Lihat Ketetapan PSI tahun 2002 hal 46 dan 54.
[23] Kis. 5 : 1 – 10. Cerita Ananias dan Safira tidak bertekanan persembahan Persepuluhan, melainkan bertekanan kejujuran. Mereka tidak memberi sebagaimana yang mereka katakan. Petrus malah memastikan bahwa bahwa sebelum dan sesudah dijual itu milik keduanya. Tetapi mengataka n bahwa memberi semuanya padahal menyimpan se bagian adalah ketidak jujuran. Keduanya dihukum karena tidak jujur. Seandainya mereka tidak pernah memberipun tidak menjadi soal. Tapi memberi dalam ketidak jujuran itu yang menjadi soal.
[24] . Ketika kita menggunakan istilah Jemaat maka yang dimaksudkan adalah dalam jangkauan kongregasi. Ketika kita menggunakan istilah Gereja, yang dimaksudkan adalah dalam jangkauan Sinodal.
[25] Untuk hal hal yang bersifat sangat tehnis Gerejawi lihat : Beaty Mary and Farley Benjamin W. ‘Calvin’s Ecclesiastical Advice’ Edinburgh T.T& Clark 1991.
[26] Kedua titik api ini sama dan kehadiran keduanya secara bersama sama membuat kita bisa memastikan perbedaan antara sebuah elips dan sebuah lingkaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar